Di balik gelap ruangan, hanya satu-satunya cahaya berasal dari layar komputer.
Cahaya biru itu membingkai siluet seseorang yang sedang mengetik cepat. Jemari menari lincah di atas keyboard. Satu kata muncul di layar: "Hugo."
Kemudian menyusul: "Bully."
Kata-kata itu dimasukkan ke dalam sebuah laman blog anonim-tempat keluh, rahasia, dan dendam dilampiaskan dalam bentuk tulisan.
***
Di studio latihan, gamelan mengalun pelan, berpadu dengan suara langkah kaki Christin yang menari sendirian. Gerakannya anggun, penuh kendali. Sorot matanya kosong tapi tajam. Ini bukan sekadar latihan. Ini adalah pelarian.
Pintu ruang latihan terbuka. Suara deritnya memecah konsentrasi, namun Christin tak peduli. Musik tiba-tiba berhenti. Lalu dia menghentikan gerak, menoleh, dan melihat Bianca berdiri di belakangnya.
"Kamu, apa lagi?" tanya Christin, suaranya ditahan agar tetap tenang.
"Aku mau latihan. Pergi," Bianca menyilangkan tangan di dada.
"Aku di sini duluan," Christin membalikkan badan, hendak melanjutkan tariannya.
"Terus kenapa kalau kamu disini duluan?" tanya Bianca dengan sinis.
Christin menarik napas. Dia menoleh perlahan, ekspresinya berubah tajam, "Kamu yakin mau berdebat denganku?"
Bianca menyipitkan mata, "Kamu itu gak bisa apa-apa, Christin. Kamu cuma bisa bertahan dengan menghancurkan orang lewat rahasia mereka. Seperti anak kecil yang haus perhatian."
Dia melangkah lebih dekat.
"Kamu bahkan tidak ada apa-apanya kalau bukan keluarga Adelison yang memungutmu."
Christin hanya tersenyum, "Apa maksudmu?"
"Aku bilang, kamu perempuan pengecut yang hanya berlindung di balik nama Adelison."
Tatapan Christin berubah dingin, tapi bibirnya tetap tersenyum. "Adelison? Kalau kamu iri bilang aja Bianca, takdirku sudah mengantarkanku ke mereka, jadi jangan iri dengan apa yang ku punya," dia mendekatkan wajahnya ke Bianca, "Ingat, aku putri Adelison dan statusku lebih tinggi dari kamu. Jadi, jangan main-main. "
Bianca meludah ke lantai, matanya berkaca-kaca, "Kita tunggu saja, siapa yang duluan hancur."
Pintu ditutup keras. Gemanya tertinggal lama setelah Bianca pergi.
*
Di koridor, Azalea tak sengaja bertabrakan dengan Leo yang menuruni tangga dengan tergesa.
"Maaf! Kamu nggak apa-apa?" Leo langsung mengulurkan tangan.
Azalea menyambut ulurannya. Saat dia berdiri, lengan bajunya tersingkap dan memperlihatkan gelang di pergelangan tangan-gelang benang merah.
Mata Leo membeku sejenak. Tangannya masih menggenggam tangan Azalea.
"Kenapa?" tanyanya.
"Tidak apa-apa, maaf aku tidak melihatmu jalan," kata Leo.
"Gak apa-apa. Aku juga nggak lihat kamu. Kalau begitu aku pergi dulu."
Saat Azalea pergi, Leo masih menatap punggungnya. Gelang itu menggugah sesuatu dari masa lalu. Sesuatu yang seharusnya terkubur.
*
Di halaman rumah yang luas, Angel-adik Christin-duduk mengerjakan tugasnya sambil menikmati angin sore. Saat suara mobil terdengar, dia langsung bangkit.
"Papa!" serunya.
Sang ayah turun dari mobil, membalas pelukan hangat putrinya, "Kita jalan-jalan hari ini, ya."
Angel bersorak. "Yeay!"
Tak lama, Mama keluar dari rumah, menatap mereka dengan helaan napas, "Baru juga pulang, udah ngajak anak keluar."