Kelas 12-A tampak riuh menjelang jam istirahat dimulai. Christin berdiri di depan kelas, membagikan kotak-kotak kecil yang dibungkus rapi-hadiah kalung berdesain simpel namun elegan. Teman-temannya menyambutnya dengan senyum dan bisik-bisik penuh rasa penasaran.
Azalea baru saja melangkah masuk, hendak menuju bangkunya ketika terdengar suara lembut namun tegas memanggilnya.
"Lea," ujar Christin sambil tersenyum.
Azalea menoleh dengan tatapan datar.
"Ini untukmu," Christin menyodorkan kotak kecil.
"Dan ini... undangan. Aku akan meresmikan usahaku malam ini. Akan sangat berarti kalau kamu datang."
Azalea menatap hadiahnya sekilas, lalu undangannya, "Maaf, aku sibuk," jawabnya singkat dan tanpa basa-basi. Dia pun berjalan ke tempat duduknya tanpa ekspresi.
Beberapa murid saling menatap dan mulai berbisik pelan, atmosfer mendadak terasa aneh. Namun Christin tak kehilangan senyumnya.
"Kita ini teman, Lea. Aku harap kita bisa mulai dari awal yang baik. Kalung ini bukan apa-apa, hanya tanda kecil... untuk menjalin relasi."
Azalea diam sejenak. Lalu, perlahan menerima hadiah itu tanpa banyak reaksi.
Tiba-tiba, pintu kelas dibuka keras-Bianca melangkah masuk dengan ekspresi menyala. Suasana seketika berubah tegang.
"Apa lagi sekarang? Nggak ada habisnya kau cari muka, ya?" geram Bianca sambil melipat tangan, menatap Christin dengan tajam.
Christin menoleh tenang, "Bianca, tolong jaga ucapanmu. Itu tidak sopan."
Bianca terkekeh sinis, "Sopan? Kau ngomong soal sopan? Udah lah, gak usah pakai topeng malaikat itu. Jijik."
"Aku cuma membagikan hadiah untuk teman-teman," ujar Christin, nadanya dibuat semanis mungkin.
"Teman?" Bianca mendengus geli, "Kau bahkan nggak tahu arti kata itu. Jangan campur adukkan kepalsuanmu dengan kata teman. Aku merinding dengarnya."
Beberapa siswa menunduk, pura-pura sibuk, sementara yang lain saling pandang dengan gelisah.
"Kalau kamu mau, aku bisa buatkan juga untukmu," kata Christin kalem namun penuh sindiran halus.
"Terima kasih, tapi aku takut ada isinya," cetus Bianca tajam, penuh sindiran.
Suasana kelas jadi mencekam. Tatapan siswa bergeser dari Bianca ke Christin. Kecurigaan menggantung di udara.
Christin menangkap suasana itu. Tatapannya menyapu seisi kelas. Lalu dia tersenyum tipis, namun nada suaranya berubah tegas.
"Kalau kalian curiga, silakan buka dan periksa semua kotak. Kalau kalian merasa aku melakukan sesuatu yang melanggar hukum... silakan laporkan ke polisi."
Sunyi. Tak ada yang menjawab. Tapi rasa tak nyaman menggantung seperti awan mendung di atas kepala mereka.
Dan Azalea, yang menyaksikan semuanya dari bangkunya, hanya tersenyum kecil-dingin dan penuh tanda tanya.
*
Arion duduk santai di sofa kulit hitam yang mengkilap di Diamond Room, ruangan eksklusif yang jarang dimasuki orang tanpa izin. Di depannya, meja kaca bening memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang berkilau seperti bintang. Dia menyilangkan kaki, jemarinya mengetuk pelan sandaran sofa, menandakan dia sedang menunggu.
Tak lama, pintu terbuka, dan Christin masuk. Wajahnya dingin, langkahnya mantap, tidak ada senyum atau sapa, hanya tatapan sekilas sebelum dia duduk di kursi seberang.
Arion yang lebih dulu memecah keheningan, "Apa rencana selanjutnya?" tanyanya sambil mengangkat alis, nada suaranya ringan tapi penuh maksud.
Christin meraih botol air mineral di meja, menuangkannya ke gelas tanpa terburu-buru, "Rencana apa?" jawabnya datar.
"Jangan pura-pura nggak ngerti," Arion mencondongkan tubuh sedikit, "Kamu bukan tipe orang yang diam setelah dapat kesempatan. Jadi, mau dibawa ke mana permainan ini?"
Christin menatapnya beberapa detik, lalu bersandar, "Peresmian usahaku nanti... itu waktunya."
Arion tersenyum miring, "Hmm... pasti sesuatu yang besar."
Christin mengangguk tipis, lalu suaranya merendah, "Aku ingin Azalea hancur di depan semua orang."