Malam hari, di sekolah Hugo tidak pernah benar-benar sunyi. Sekalipun lampu-lampu taman dipadamkan dan aula dikunci, ada bisikan yang tetap berkeliling di antara dinding—seperti jejak masa lalu yang belum selesai.
Dan malam ini, lima nama menjadi sasarannya: Leo, Bu Mina, Arion, Nathan, dan Bianca.
Satu per satu, mereka menerima sesuatu.
Benda sederhana—sebuah surat tanpa nama, hasil USG, notifikasi ponsel yang mengganggu, hingga video rahasia yang tak seharusnya masih ada.
Namun bukan isi dari benda-benda itu yang membuat dada mereka sesak, melainkan ingatan yang datang bersamanya.
Leo membuka pintu dan menemukan sebuah paket tipis berbalut kertas cokelat lusuh, tanpa nama pengirim. Isinya foto USG. Dan ada surat berisi: "Seharusnya kamu tahu bahwa kebenaran tidak pernah bisa dikubur selamanya."
Nama yang ia takutkan, nama yang tak pernah hilang dari bayangannya, seolah berbisik di telinganya.
“Elena…”
Bu Mina, yang sudah berusaha melupakan semuanya, gemetar saat membaca surat bertinta merah: "Yang kau lihat takkan hilang"
Arion, saat belajar malam hari, menemukan amplop misterius di bawah pintu. Isinya: foto USG dan sebuah catatan: "Kau bahkan tidak minta maaf karena kesalahan masa lalu"
Di lapangan gelap, keringat masih menetes di pelipis Nathan usai olahraga malam. Ponselnya bergetar. Notifikasi dari akun tak dikenal muncul. Dia membuka—dan langsung membeku.
Sebuah foto USG terpampang di layar.
“Rahasia ini tidak akan terkubur, Nathan.”
Bianca, saat latihan tari sendiri di ruang musik. Dia mendapatkan notifikasi. Sebuah video terkirim ke handphonenya. Dia memutar video lama: Bullying terhadap Elena, dengan wajahnya yang tertawa paling lantang.
Mereka semua membeku. Karena setiap surat, setiap video, bukan sekadar ancaman. Tapi cermin dari masa lalu mereka sendiri, yang kini menuntut balas.
Malam ini, Hugo bukan hanya sekolah seni. Tapi panggung pembalasan. Karena setiap surat yang dikirimkan adalah luka yang disengaja dibuka kembali.
*
Ruang bawah tanah itu nyaris tanpa suara, hanya desiran kipas pendingin mesin dan denting lembut dari alat pemantau medis.
Di tengah ruangan, ada layar besar yang menampilkan gambar seorang gadis muda yang terbaring lemah. Wajahnya pucat, tubuhnya diinfus dan dipasang alat bantu pernapasan.
Azalea duduk diam di depan layar, kedua tangannya mengepal di pangkuan. Melihat Elena seperti ini membuat dadanya kembali sesak.
"Aku akan membuat mereka membayar," bisiknya lirih.
Suara notifikasi mengalihkan perhatiannya.
Email masuk.
Pengirim: Anonymous
Alamat: oliveleaf12@xxxx.com
Subjek: "Bukankah sudah waktunya kebenaran dibuka?"
Azalea menelan ludah, jemarinya bergerak gemetar membuka lampiran.
Satu per satu file muncul:
1. Video rekaman CCTV: Leo dan Bu Mina, berciuman panas di ruang staf, malam hari, tahun lalu. Dan kamera tersembunyi saat di ruang musik.
2. Video bullying: Bianca dan gengnya, mendorong Elena ke dalam kamar mandi, menyiramkan air ke rambutnya. Terdengar suara tawa Bianca: "Kamu pikir kamu bisa seperti kita?"
3. Foto candid: Nathan dan Elena, tertawa bersama di studio gamelan, tangan mereka saling menggenggam erat.
4. Foto grup: Elena berdiri di tengah, dikelilingi Bianca, Arion, Nathan, Christin, Leo dan Zara. Semua tersenyum tapi sekarang senyuman itu tampak seperti ironi.
5. Sebuah catatan pendek:
"Tebak siapa monster yang sebenarnya?"
Azalea terpaku. Tangannya mengepal erat.
Matanya tak lepas dari wajah Elena di layar medis, lalu kembali pada foto-foto itu.