Pulang sekolah, Azalea melangkah cepat meninggalkan gedung utama. Matanya menatap lurus ke depan, berusaha tidak memedulikan bisik-bisik yang masih menggema. Langit mulai meredup, senada dengan suasana hatinya yang tak menentu.
Sebuah mobil berhenti mendadak di hadapannya.
"Naik," suara Leo terdengar dari balik kaca jendela yang diturunkan perlahan. Mobil mewah itu memancarkan cahaya redup dari pantulan matahari sore.
Azalea menatapnya sebentar, "Enggak, aku bisa pulang sendiri."
Namun Leo mencondongkan tubuhnya, memasang ekspresi kekanak-kanakan yang tak biasa, "Jangan nolak, gak baik loh, ayo masuk."
Azalea menghela napas. Tatapannya sebentar melirik sekeliling—tak disangkanya, Christin sedang berjalan keluar gedung tak jauh dari mereka. Mata mereka sempat bertemu, dingin dan mengawasi. Christin penasaran dengan ajakan Leo.
Akhirnya Azalea masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa-apa.
Di dalam mobil, suasana awalnya canggung. Hanya ada suara lagu dari speaker mobil yang diputar pelan.
Tapi itu tak bertahan lama. Sebuah rem mendadak menghentikan mobil. Tubuh mereka sedikit terlempar ke depan karena guncangan kecil. Tas Azalea yang ada di pangkuannya terjatuh ke bawah.
"Aduh, maaf. Tiba-tiba anak kecil nyeberang," gumam sopir sambil menatap spion.
"Gak apa-apa."
Azalea membungkuk untuk mengambil tasnya, tapi Leo lebih dulu menunduk, memungut benda-benda yang jatuh. Matanya tertuju pada sebuah benda kecil yang keluar dari resleting tas yang terbuka: gelang benang merah.
"Eh?" Leo mengambilnya, "Gelang ini..."
Azalea mengambil gelang itu dari tangannya, gerakannya pelan, "Makasih."
Leo menatapnya, penuh rasa ingin tahu, "Dari siapa?"
Azalea diam sesaat, kemudian menjawab tanpa menoleh, "Apa?"
"Gelang itu," jawab Leo.
"Oh, gelang ini, ibuku yang bikin, kenapa?"
Leo mengangguk pelan, namun sorot matanya berubah. Seperti menyimpan sesuatu.
"Cantik bentuknya."
Azalea hanya tersenyum. Lalu Leo kembali menatap ke depan. Tapi pikirannya tidak setenang tangannya.
Gelang itu, bentuknya persis seperti milik Anna.
*
Diamond Room berkilau, lampu kristalnya memantul di permukaan meja kaca. Nathan melangkah cepat, rahangnya mengeras, ponsel masih tergenggam erat di tangan. Christin sudah duduk di sofa, menyulut rokok dengan ekspresi santai seakan menunggu sesuatu.
Nathan melemparkan ponsel ke meja. Layar masih menyala, menampilkan foto USG.
“Ini kamu yang kirim, kan?” suaranya berat, nyaris bergetar menahan amarah.
Christin menoleh, keningnya berkerut sejenak sebelum tersenyum samar.
“USG?”
Dia mendekat, melihat layar ponsel, lalu menegakkan tubuhnya, “Kenapa kalau aku yang kirim?”
“Christin, jangan main-main sama aku!” Nathan membentak, suaranya memecah keheningan ruangan.
“Apa maksudmu? Dan apa maumu?”
Tatapannya tajam menusuk, “Maunya? Aku cuma ingin kamu sadar, Nathan. Anak itu bukan sekadar bayangan yang bisa kamu buang seenaknya. Itu darahmu.”
Nathan mengepalkan tinju, napasnya memburu, “Kau gila, Christin! Kau pikir teror macam ini bisa bikin aku tunduk padamu?”
Christin tersenyum miring, penuh provokasi, “Kalau kau marah, artinya kau peduli. Dan kalau kau peduli…” dia mencondongkan tubuh, berbisik pelan, “…artinya kau belum bisa lari dari aku.”
Nathan menatap tajam, wajahnya merah padam menahan emosi, “Kalau kau pikir aku bakal takut dengan permainan kotor ini, kau salah besar, Christin.”
Dia meraih ponselnya, memasukkannya ke saku, lalu berdiri, “Aku nggak akan jatuh ke jebakanmu!”