PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #16

Bab 15. Yang Terkubur Tak Pernah Mati

Pagi hari. Matahari mulai mendaki, menyinari tanah yang panas dan kering. Langit cerah, tanpa awan, memberikan kesan tak ada yang tersembunyi di bawah teriknya.

Di sebuah area pemakaman terpencil yang sepi, dua pria pekerja sedang menggali salah satu makam yang sudah tampak tua dan tidak terawat.

Nisan yang ada hanya bertuliskan Anna - tanpa tanggal lahir, tanpa tanggal kematian. Batu nisan itu sudah lapuk.

Dari kejauhan, seorang pria berjas gelap berdiri di balik mobil mewahnya, memandang ke arah para penggali tanpa bergerak. Hanya sesekali dia mengangguk, mengonfirmasi sesuatu.

"Ini petinya, mas? " salah satu penggali akhirnya berkata, menundukkan kepala dengan hormat.

Suara sekop berhenti. Mereka mulai membuka tutup peti itu perlahan, dengan hati-hati.

Di dalamnya, tengkorak manusia.

Masih lengkap, meski sedikit terurai.

Sebuah gelang yang dulunya tampak segar terpasang di pergelangan tangan tengkorak itu.

Gelang yang sangat familiar bagi yang tahu. Gelang yang juga dikenakan oleh Azalea dan Leo. Sebuah simbol yang mengikat dua orang yang tidak tahu menahu tentang masa lalu mereka.

Pria berjas itu mendekat. Dia mengenakan sarung tangan hitam, dan dengan hati-hati dia memegang gelang itu. Matanya tajam, tidak berkedip, seolah sedang mengidentifikasi sesuatu yang sudah lama terlupakan.

"Ini... bukan kebetulan," katanya, perlahan, hampir tak terdengar.

Pria itu menatap gelang itu dengan serius.

Burung gagak di pohon besar terbang rendah, memekik keras, seolah mengetahui bahwa masa lalu yang terkubur selama sembilan tahun kini mulai terungkap, satu per satu.

*

Mentari sore menyusup masuk melalui jendela kaca tinggi gedung teater Hugo, memantulkan cahaya jingga ke lantai kayu yang sudah mulai menghitam oleh usia.

Tirai merah hanya dibuka setengah, meninggalkan bayangan panjang yang melintang di panggung kosong. Lampu panggung belum dinyalakan, membiarkan cahaya alami membentuk suasana yang ganjil-tenang, tapi menekan.

Azalea duduk bersila di depan alat musik bonang. Jemarinya yang ramping menyentuh pencon-pencon logam dengan lembut, menimbulkan gema yang dalam. Setiap ketukan seperti menembus batas waktu. Suara bonang tidak hanya mengisi ruangan, tapi juga hati yang penuh rahasia.

Di tengah panggung, Bianca melangkah cepat. Gerakannya tajam, dinamis, ambisius. Dia menari dengan irama yang terpaku pada presisi dan kekuatan. Seolah panggung itu miliknya, dan tidak ada ruang untuk kesalahan atau emosi.

Christin, berbeda. Dia menari dengan ritme yang lebih lambat, lebih ekspresif. Setiap gerakan tangannya seperti mengukir luka di udara. Kain biru pucat yang membalut tubuhnya berkibar perlahan mengikuti putaran tubuhnya yang elegan. Dia tidak menari untuk ditonton, melainkan untuk menyampaikan sesuatu-mungkin kesedihan, mungkin dendam.

Azalea melanjutkan permainannya. Suara bonang berubah menjadi semakin kompleks. Tak hanya indah, tapi seperti mengandung rasa waswas. Musiknya menyatu dengan dua penari yang berbeda tujuan. Panggung itu tak lagi menjadi tempat pertunjukan, tapi arena yang menyimpan rasa tak terucapkan.

Dari deretan kursi penonton yang kosong, Bu Raras, pelatih mereka, menonton tanpa bersuara. Hanya mata tajamnya yang bergerak.

*

Rumah itu sunyi. Terlalu sunyi untuk ukuran rumah seorang guru. Dinding-dinding tua dipenuhi lukisan abstrak yang warnanya pudar. Jam dinding berdetak lambat, seolah waktu ikut enggan bergerak.

Bu Mina duduk di kursi rotan dekat jendela, tubuhnya membungkuk lemas. Wajahnya pucat pasi, matanya cekung dan sembab. Rambutnya diikat asal, tak seperti biasanya yang selalu rapi dan elegan. Dia menatap kosong ke luar jendela-ke arah pohon kamboja yang bergoyang pelan diterpa angin malam.

Tangannya gemetar saat membuka botol kecil dari laci meja. Obat penenang. Dia menelannya cepat, tanpa air, seolah sudah terbiasa. Tangannya memijit pelipis. Nafasnya berat.

Lihat selengkapnya