Malam hari di Gedung Gloré-tempat pesta peresmian usaha baru milik keluarga Bianca
Lampu kristal memantulkan cahaya lembut ke seluruh ruangan, membuat pesta malam itu tampak seperti potongan dunia yang terlalu mahal untuk disentuh. Musik klasik modern mengalun pelan, dengan denting gelas-gelas kristal dan tawa sopan tamu-tamu undangan sebagai latar.
Bianca tampil memukau dalam gaun putih keemasan rancangan eksklusif, wajahnya tersenyum. Di sampingnya, Leo sedang berbincang dengan Arion dan Christin, tapi jelas pikirannya tidak sepenuhnya ada di ruangan itu.
"Jadi kamu beneran jalanin usaha sendiri sekarang?" tanya Christin, suaranya terdengar sinis namun bungkusnya sopan.
"Keluarga percaya, aku sudah cukup dewasa untuk memimpin cabang ini. Dan aku bukan tipe yang cuma numpang nama keluarga," jawab Bianca tajam, senyum profesionalnya tetap terpasang.
"Bagus," ucap Leo singkat.
Di sisi lain ruangan, Zara sedang me-review foto-foto pesta untuk diposting di portal sekolah. Sesekali ia melirik ke arah Bianca dan Christin, mungkin berharap akan ada drama yang layak disebarkan lagi.
*
Malam itu, Azalea berniat membeli camilan di minimarket dekat apartemennya. Langkahnya terhenti ketika melihat seseorang di lorong minuman-seorang perempuan bertubuh kecil dengan hoodie abu-abu yang tampak familiar. Azalea menyipitkan mata.
Hoodie itu, sekilas, memori lamanya melintas-sebuah foto kecil yang dulu dia temukan di antara barang-barang Elena. Foto dua orang remaja perempuan dengan hoodie serupa, tertawa bersama. Salah satunya adalah Elena.
Azalea segera mengikuti perempuan itu. Oliv, meski memakai masker dan menunduk, tampak gelisah. Saat dia melangkah keluar minimarket, langkahnya mempercepat. Azalea mengikutinya diam-diam.
Mereka memasuki gang kecil yang dipenuhi tembok lembab dan suara tetesan air dari talang bocor.
Oliv menengok ke belakang. Tak ada siapa-siapa. Dia menghela napas lega, mengira berhasil lolos.
Namun, tepat di tikungan depan, "Sudah lama, Oliv," suara Azalea terdengar tenang namun tajam, membuat Oliv terhenti seketika.
Azalea berdiri di ujung gang, menghadangnya. Tatapan mereka bertemu, Oliv terdiam. Sekilas, ada bayangan takut di matanya.
"Kamu siapa?" suara Oliv terdengar pelan, tapi waspada.
Azalea melangkah mendekat, satu langkah demi satu. Wajahnya tetap tenang, "Kau yang kirim video itu ke emailku, kan?"
Oliv tampak goyah. Pandangannya berpindah cepat ke kiri dan kanan, seperti mencari jalan keluar.
"Aku nggak tahu maksudmu."
"Jangan bohong," nada suara Azalea berubah tajam, "Hanya satu orang yang tahu video itu dan satu orang yang punya foto itu."
Oliv menggigit bibir bawahnya. Tangannya mengepal di balik saku hoodie-nya.
"Aku cuma mau kebenaran dibuka. Elena... dia nggak pantas mati kayak begitu."
Azalea menahan napas. Nama itu menusuk seperti duri lama yang tak kunjung luruh.
"Kau temannya Elena?" tanya Azalea lebih pelan.
Oliv mengangguk perlahan, "Dia sahabatku waktu SMA. Tapi waktu semuanya hancur... dia menjauh. Aku nggak bisa bantu," matanya mulai berkaca-kaca, "Setelah kejadian itu, nggak ada yang peduli sama kebenaran. Semua orang cuma tutup mata."
Azalea mendekat, wajahnya kaku, "Jadi sekarang kamu muncul? Setelah semua orang mengira dia mati bunuh diri?"
Oliv menggeleng, "Aku nggak percaya dia bunuh diri. Aku tahu sesuatu. Tapi aku nggak bisa bicara ke sembarang orang."
"Kamu percaya sama aku?"
Oliv terdiam.
"Aku orang yang juga kehilangan Elena," jawab Azalea akhirnya, suaranya nyaris berbisik, "Dan aku ingin tahu siapa yang menghancurkannya."