Video itu diputar di tengah pertunjukan.
Tirai terbuka perlahan. Layar putih yang seharusnya menampilkan karya seni Bianca justru berubah menjadi mimpi buruknya. Suara tawa dan teriakan bergema dari speaker. Di layar, tampak wajah Bianca dan gengnya, merundung seorang siswi SMA—Elena.
Penonton terdiam. Beberapa menutup mulut karena terkejut. Para tamu undangan dari Hartono Group, Adelison Group, hingga Hugo Group saling berpandangan. Nama baik sekolah seni itu tercoreng dalam sekejap.
Bianca membeku di atas panggung. Gaun mewahnya tak mampu menutupi rasa malu yang menampar. Dia mundur perlahan, lalu berlari ke belakang panggung, air matanya pecah.
Tak lama setelahnya, terdengar suara bentakan dari ruangan VIP. Tuan Hugo—ayah Bianca—menggebrak meja kecil, wajahnya memerah.
"Memalukan! Apa yang sudah kau lakukan selama ini, hah?!"
Sementara Mamanya berusaha menenangkan, "Bianca masih anak-anak, Pa... jangan bentak dia di depan orang lain."
Bianca hanya diam. Hatinya tak kalah bising dari percakapan orang-orang di luar sana.
____________________
Di sisi lain, suasana berbeda justru tercipta di sebuah ruang makan pribadi di area undangan.
Keluarga Arion dan keluarga Hartono duduk bersama.
Bu Winda berbicara ringan, "Putri Anda terlihat semakin cantik ya. Azalea sekarang jadi pusat perhatian."
Papa Azalea tersenyum kecil, "Begitu juga dengan Arion, selain tampan, dia juga pintar."
Mereka tertawa ringan, menyisakan pertukaran pandangan antar kedua ibu. Makan malam berlanjut dengan anggur ringan dan diskusi soal kemungkinan kerja sama antar perusahaan.
Tapi Azalea dan Arion tahu, pertemuan itu lebih dari sekadar basa-basi bisnis. Ada sesuatu yang sedang diamati, sesuatu yang bisa berbahaya kalau salah langkah.
*
Keesokan harinya, sekolah seni Hugo diliputi kabar memalukan yang tak berhenti mengalir. Judul-judul artikel daring bermunculan:
"Sekolah Elit Ternoda: Video Perundungan di Panggung Pertunjukan",
"Siapa Bianca, Si Perundung di Balik Nama Besar?"
Suasana sekolah menjadi dingin. Lebih dingin dari biasanya.
Dan Christin—biasanya ramah kepada guru dan menyebar senyum palsu ke mana-mana—kini berjalan lurus, tak menyapa siapa pun. Tatapannya tajam dan kosong, seperti menyimpan badai yang belum selesai.
Di salah satu sudut studio seni, Zara sedang melukis. Jemarinya sibuk menciptakan sapuan warna merah darah di atas kanvas. Tapi langkah kaki yang mendekat membuatnya berhenti. Christin berdiri di belakangnya, menyentuh bahunya pelan.
"Kau sudah melakukannya dengan baik," ujar Christin pelan, nyaris seperti bisikan.
Zara menoleh, gugup, "Kau yakin itu tidak akan berdampak ke kita?"
Christin tersenyum tipis, "Yang kena sorotan Bianca. Bukan kita."
Zara terdiam. Dia tak tahu mana yang lebih berbahaya—Bianca yang brutal atau Christin yang licik dan tenang seperti air beracun.
*
Untuk pertama kalinya, kamar mewah itu terasa seperti penjara.
Bianca duduk di lantai marmer, punggungnya bersandar pada ranjang dengan seprai linen putih gading. Ponselnya tergeletak di sampingnya, layar terus menyala dengan notifikasi dari media sosial. Komentar-komentar jahat mengalir tanpa henti.
"Dia pembully di balik kematian Elena."
"Semua topeng akhirnya jatuh."
"Semewah apapun sepatumu, kelakuanmu tetap busuk."