PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #21

Bab 20. Orang Pertamalah Pemenangnya

Langit mendung menyapu kaca besar perpustakaan, membiaskan bayangan rak-rak buku antik yang berdiri tegap bak penjaga warisan intelektual. Ruangan itu sunyi, hanya terdengar denting jam dinding dan gesekan halus kertas yang dibalik. Nathan duduk di pojok ruangan, tempat favoritnya. Kemeja putihnya tergulung di lengan, dan matanya fokus menelusuri halaman demi halaman buku strategi militer klasik.

Sampai sebuah suara ringan memecah keheningan.

"Aku bawa makan siang," ucap Azalea pelan, tapi cukup untuk membuat Nathan mengangkat wajah.

Gadis itu berdiri dengan canggung, membawa kotak bekal warna krem muda. Rambutnya diikat sederhana, dan ada noda kecil di ujung jarinya—sisa dari saus yang dia racik sendiri. Matanya menatap Nathan dengan harapan, tapi juga sedikit takut ditolak.

"Kenapa kamu ke sini?" tanya Nathan, singkat.

Azalea menggigit bibir bawahnya, "Kamu udah tiga hari gak masuk. Aku pikir... kamu butuh makan."

Nathan memalingkan pandangan ke jendela, "Aku baik-baik aja."

"Bohong. Kalau kamu baik-baik aja, kamu gak akan menghindari orang segitunya," balas Azalea pelan, tapi mantap.

Dia membuka kotak bekalnya tanpa izin Nathan, lalu mendorongnya perlahan ke arah cowok itu, "Nasi goreng. Aku yang masak."

Nathan memandang bekal itu seperti menatap jebakan, "Aku gak lapar."

Azalea menatapnya lama, lalu duduk di seberangnya, "Makan, please. Sekali aja. Anggap aja kamu jurinya MasterChef."

Nathan mendesah, lalu mengambil satu suap dengan enggan. Dia mengunyah pelan.

"Gimana?" tanya Azalea penuh harap.

Nathan meletakkan sendok, "Asin."

Azalea mengerutkan kening, "Masa sih?" dia mencicipi. Lalu diam sejenak, "Enggak asin tuh."

Nathan menyandarkan tubuh ke kursi, memejamkan mata sesaat, "Yaudah. Lumayan."

Diam-diam, senyum kecil muncul di sudut bibirnya. Tapi Azalea sudah lebih dulu cemberut sambil menyumpal mulutnya dengan satu suap besar nasi goreng.

Mereka tak sadar—di balik rak buku bagian sejarah seni jawa, Christin berdiri. Dia mematung di sana, matanya tajam mengamati interaksi keduanya.

Ekspresi wajahnya sulit ditebak—antara keterkejutan, kekecewaan, dan amarah yang membungkam.

Tak ada yang tahu berapa lama dia berdiri di sana. Tapi saat Azalea tertawa kecil karena Nathan bilang, "Cabe kamu nggak nyatu," Christin akhirnya berbalik pergi.

Langkahnya tenang. Tapi sepatu hitamnya meninggalkan jejak dingin di lantai kayu perpustakaan.

*

Udara pagi masih basah oleh embun ketika Leo melangkah cepat melewati lorong rumah sakit. Dasi hitamnya belum sempurna terikat, dan matanya penuh dengan tekanan batin. Di tangan kirinya, ada map kulit tempat dia menyimpan surat kuasa dari pihak yayasan Hugo—surat yang membuatnya bisa mengakses data rekam medis tertentu.

Suster menyambutnya sopan, "Pak Leo?"

Lihat selengkapnya