Langkah-langkah kaki Arion menjejak rerumputan liar. Daun-daun kering berkeresakan di bawah bootsnya, sementara pistol semi-otomatis perak berkilat di tangannya. Nafasnya berat. Fokusnya tertuju pada seekor kelinci putih yang berlari cepat menembus semak-semak di antara pepohonan. Dia sudah menembakkan dua peluru—meleset semua.
Kelinci itu menghilang sekejap. Arion menggertakkan gigi dan mengatur napas. Ketika dia hendak menembak lagi, DOR!
Tembakan lain mendahuluinya—bukan dari dirinya. Tubuh kelinci ambruk, tak bergerak. Arion menoleh cepat.
Di bawah bayangan pohon, Christin berdiri anggun namun dingin, pistol masih teracung di tangannya
Dia menarik napas dalam-dalam dan memalingkan wajah, berjalan sedikit menjauh, "Kamu mengikutiku?"
"Jangan kepedean, aku datang ingin memburu, bukan bertemu denganmu," ucapnya dingin.
"Sudahi memikirkan Nathan. Perjuanganmu sia-sia."
Christin mengerutkan kening, tidak mengerti, "Apa maksudmu?"
"Nathan tidak menyukaimu lagi," Arion melanjutkan dengan nada kasar, meski ada sedikit rasa sakit yang tercermin dalam suaranya, "Yang dia sukai adalah Anna, bukan kamu. Kamu sudah kalah, Christin."
Christin berhenti, matanya menyipit tajam, menatap Arion dengan ekspresi dingin yang hampir tidak bisa dibaca, "Anna sudah mati, Arion," Suaranya tajam, penuh kepastian, seolah ingin menegaskan bahwa ini adalah kenyataan yang tak bisa dihindari.
"Dia sudah mati," Christin mengulangi dengan lebih tegas, langkahnya mendekati Arion, "Dan kau harus bisa terima itu."
Keheningan memanjang di antara mereka. Hanya suara angin yang berdesir melalui ranting-ranting pohon yang mengisi kekosongan itu. Arion menatap Christin dengan perasaan campur aduk—marah, bingung, dan sedikit patah hati.
Christin berbalik, meninggalkan Arion yang kini terdiam, masih tenggelam dalam perasaan yang kacau. Dalam pikirannya, tidak bisa mengalahkan Nathan dalam pikiran Christin.
*
Azalea berdiri sendirian di ujung gang sempit, jaket hitam menutupi seragamnya. Lampu jalanan berkedip pelan, seakan menahan napas. Di ujung gang, langkah kaki pelan terdengar. Sosok Oliv muncul dari balik bayangan, wajahnya penuh waspada.
Mereka berjalan pelan menuju minimarket 24 jam di sudut jalan.
"Maaf... aku telat," bisik Oliv, suaranya lelah.
Azalea menggeleng, "Nggak apa-apa. Aku tahu kamu harus hati-hati."
Sejenak tak ada yang bicara. Lalu Azalea mulai bercerita. Tentang keributan di sekolah. Tentang Bianca yang mulai memburuk. Tentang Christin yang makin tidak jelas. Tentang Nathan yang masih menggenggam bayang masa lalu.
Oliv mendengarkan dalam diam. Matanya memerah.
"Kalau saja aku pergi malam itu..." gumamnya, "Kalau saja aku berani... Elena mungkin nggak—"
"Bukan salahmu, Oliv," potong Azalea cepat, menatap lurus ke arahnya, "Kita semua salah. Tapi kamu bukan pengecut. Kamu satu-satunya yang masih peduli mencari kebenaran."
Oliv menggeleng, "Aku bahkan nggak bisa lindungi dia... Elena selalu bilang, jangan percaya mereka, tapi aku—aku diem aja," Air mata jatuh di pipinya, tanpa suara.
Azalea menggenggam tangannya, "Kamu bisa bantu sekarang. Kita cuma butuh satu hal."
Oliv mengangguk pelan, meski gemetar, "Bukti. Video dari malam pesta itu. Dan rekaman dari atap tempat Elena jatuh. Kalau masih ada... semua akan terjawab."