Matahari menggantung malas di atas langit, saat sebuah mobil hitam berhenti di depan restoran klasik bergaya kolonial. Tuan Hartono turun lebih dulu, mengenakan setelan rapi berwarna abu gelap, diikuti oleh Bu Winda yang tampil anggun dengan dress putih tulang dan tas kecil menggantung di siku.
Mereka disambut oleh manajer restoran dan dibawa ke ruangan VIP di lantai dua—tertutup, tenang, dan jauh dari keramaian. Tempat yang sama yang dulu mereka pilih saat membahas merger bisnis 2 bulan lalu. Kini, keduanya duduk berseberangan.
Obrolan mereka tampak hangat, namun setiap kalimat menyimpan strategi. Pembicaraan soal pasar saham berlanjut ke isu sosial, lalu perlahan mengarah ke topik pencalonan Gubernur.
Nama-nama besar disebut. Dukungan politik, jaringan media, hingga kemungkinan serangan dari lawan dibahas seperti permainan catur. Di balik senyum mereka, dua kekuatan lama sedang menimbang arah sejarah baru.
Beberapa menit kemudian, suasana meja berubah sedikit lebih santai saat Arion muncul dari pintu kaca, diikuti oleh Azalea. Gadis itu tampak anggun dalam balutan blouse hijau sage dan rok putih gading.
Arion menatap Mamanya sekilas, lalu menunduk memberi salam. Azalea ikut menyapa, dan keduanya kemudian duduk di meja terpisah yang tak jauh dari tempat Tuan Hartono.
Percakapan menjadi lebih ringan. Arion membahas kabar sekolah, proyek seni, dan sedikit soal reputasi keluarga yang mulai dibicarakan media. Azalea, dengan senyumnya yang tenang namun penuh perhitungan, sesekali menyelipkan komentar tentang "masa depan" yang sedang dibentuk oleh orang-orang tua itu.
Namun suasana nyaman itu tak berlangsung lama.
Di sisi lain restoran, seorang laki-laki dan wanita baru saja masuk. Leo melangkah masuk lebih dulu, mengenakan kaos formal, wajahnya datar seperti biasa. Di sampingnya, Bu Mina, mengenakan blazer krem dan rok hitam, tampak sedikit cemas, namun tetap menjaga sikapnya.
Mereka tidak melihat siapa pun dari lantai dua, tak menyadari bahwa langkah mereka baru saja mengundang badai kecil.
Di dekat pintu, seorang wanita berusia 40-an baru saja masuk. Dia mengenakan kacamata hitam dan scarf mahal, wajahnya nyaris tak terlihat. Namun ketika menoleh dan matanya menangkap sosok Leo, jantungnya seperti terhenti sesaat.
Matanya membelalak. Bukan hanya karena putranya berada di restoran itu. Tapi karena wanita yang duduk bersamanya.
Langkahnya terhenti. Suara-suara dalam restorannya menghilang.
Dan kini, wanita itu duduk dengan Leo. Di tempat umum dan terlihat akrab. Seolah masa lalu mereka tak pernah ada.
Mama Leo menggenggam erat tas di tangannya. Tubuhnya diam, namun pikirannya mulai bergerak liar. Wajahnya menyimpan dua emosi yang saling bertabrakan—ketakutan dan kemarahan.
Dari lantai dua, Azalea yang hendak ke toilet sekilas melihat ke bawah. Matanya menangkap wajah tegang seorang wanita yang tidak asing berdiri membatu di depan pintu restoran.
Azalea mengernyit pelan.
Namun firasatnya—yang akhir-akhir ini tak pernah salah—berbisik bahwa mulai hari ini, makan siang tak lagi hanya tentang politik atau keluarga.
Tapi tentang rahasia yang kembali menyeruak ke permukaan.