PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #25

Bab 24. Luka Yang Tersimpan

Langit kelabu menggantung berat di atas kota, dan hujan turun tanpa peringatan. Tetesannya membasahi kaca mobil dan mengguyur jalanan yang mulai sepi. Azalea menggenggam ponselnya erat, menatap alamat di layar dengan ragu, lalu menengadah ke rumah kecil di hadapannya—kontras dengan rumah-rumah mewah yang biasa dia singgahi.

Dia turun dari mobil, lalu mengetuk pintu rumah itu perlahan. Hujan membungkam suara langkahnya, dan hanya gemuruh samar terdengar dari kejauhan. Saat pintu terbuka, seorang wanita paruh baya muncul. Rambutnya dikuncir asal, mengenakan daster tipis dan wajah lelah yang tampak terkejut melihat tamu tak dikenal berdiri di ambang pintu.

Sebelum Azalea sempat berbicara, suara dari dalam rumah memecah keheningan.

"Itu temanku, Bu!" seru seorang gadis dari dalam.

Wanita itu menoleh ke belakang, lalu membuka pintu lebih lebar, "Masuk aja, hujan besar begini."

Azalea melangkah masuk dengan hati-hati. Lantai rumah dingin, dengan perabot sederhana dan aroma khas rumah lama. Hujan kini terdengar lebih jelas di balik dinding tipis dan atap seng yang memantulkan tiap tetes air dengan nyaring.

Oliv muncul dari balik pintu kamar, mengenakan kaos kebesaran dan celana pendek. Wajahnya sedikit kaget, karena tidak menyangka Azalea benar-benar datang. Dia tidak tersenyum, hanya memberi isyarat dengan dagu.

"Kemari."

Azalea mengangguk pelan dan mengikuti langkahnya. Dia melirik sekeliling, memperhatikan bingkai foto tua, kipas yang berputar lambat di langit-langit, dan sofa usang yang ditutupi kain tipis. Rumah ini terasa nyata. Tidak seperti dunia elit yang selama ini membentuk hidupnya.

Mereka masuk ke kamar Oliv—ruangan sempit dengan satu ranjang kecil, rak buku berisi folder dan catatan, dan dinding kusam yang dipenuhi coretan dan potongan kertas. Azalea melihat sekilas sebuah papan gabus, dengan beberapa nama dan foto yang tampak familiar—termasuk foto dirinya saat masih bernama Anna.

Jantung Azalea berdetak lebih cepat.

suara jam dinding yang berdetak pelan. Azalea duduk bersandar di kursi, sementara Oliv berdiri di seberangnya, dengan tangan bersilang dan tatapan tajam penuh tanda tanya.

"Gimana kabar Bianca setelah kejadian itu?" tanya Oliv pelan, tapi nadanya tegas, seolah tak mau hanya mendengar jawaban basa-basi.

Azalea menatapnya, mata gadis itu menyipit sedikit, "Dia nggak masuk sekolah sejak hari itu," suaranya datar, namun ada nada curiga yang samar.

Oliv mengangguk pelan. Wajahnya tetap tenang, tapi sorot matanya menunjukkan dia ingin lebih dari sekadar kabar singkat.

Seketika, Azalea menyandarkan tubuh ke depan, "Kamu yang mainin video itu, Liv?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi. Kali ini nada suaranya dingin, tajam seperti pisau yang menusuk dalam diam.

Oliv tidak terkejut. Dia sudah menduga pertanyaan itu akan muncul. Dia menatap lurus ke arah Azalea, tanpa berkedip.

"Bukan aku," jawabnya mantap, "Aku tahu soal video itu. Tapi aku nggak pernah menyentuh proyektor waktu itu. Apalagi sampai menyiarkannya ke seluruh tamu. Aku belum merencanakannya."

Azalea terdiam. Kata-kata Oliv terasa jujur, tapi tetap saja, bayangan kecurigaan belum sepenuhnya hilang dari kepalanya.

"Di sekolah semua kendali atas kehendak Christin, aku curiga dia terang-terangan menyingkirkan Bianca dan akan mempermainkannya layaknya boneka," ujar Oliv.

*

Ruangan eksklusif yang hanya bisa dimasuki oleh kalangan terpilih itu dipenuhi aroma rempah dari diffuser bergengsi, dindingnya berlapis beludru hitam dengan pantulan cahaya kristal yang menggantung di langit-langit. Di sudut ruangan, Christin duduk santai di kursi kulit putih gading, kakinya bersilang elegan, sebatang rokok menyala di antara jemarinya.

Arion berdiri di seberangnya, tubuhnya kaku. Wajahnya menegang, seperti tahu bahwa pertemuan ini tidak akan menyenangkan.

"Aku meminta bantuanmu Arion," ucap Christin dengan suara datar tapi menusuk. Asap rokok keluar dari bibirnya perlahan.

Arion tidak menjawab.

Christin menggeser iPad di mejanya ke arah Arion. Layar menyala. Sekejap wajah Arion berubah. Tangannya mengepal, rahangnya mengeras.

Lihat selengkapnya