PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #26

Bab 25. Tanda Yang Gak Pernah Hilang

Pagi hari di rumah Azalea diselimuti udara sejuk dari taman belakang yang baru disiram. Sinar matahari memantul pelan di permukaan meja makan dari kaca. Azalea duduk sambil menyeruput teh melati, matanya masih lelah sisa malam yang panjang.

Langkah kaki sang mama terdengar pelan, namun membawa aura tegang. Wanita itu menaruh satu amplop putih di meja, tepat di hadapan Azalea.

"Ini hasil tes DNA yang kamu minta," ucap Mama dengan nada pelan tapi berat.

Azalea menatap amplop itu dengan waspada. Tangannya sempat ragu sebelum akhirnya menyobek segelnya. Lembar hasil laboratorium itu tampak dingin dan formal, tapi di balik angka-angka dan kata-kata teknis itu, ada satu kebenaran yang selama ini mengganggu pikirannya.

Angel dan Elena — cocok. 99,98%. Saudara kandung.

Azalea menghela napas panjang. Dugaannya benar. Dua gadis itu, yang selama ini berada di sisi berbeda dari tragedi besar, ternyata darah daging satu sama lain.

"Jadi... Elena benar-benar kakaknya Angel," gumam Azalea nyaris tak terdengar.

Sang mama hanya mengangguk pelan, tatapannya senang.

*

Christin duduk di ruangannya yang luas, tapi senyap. Di tangannya, ada dua lembar kertas. Yang satu, surat tulisan tangan lama yang lusuh. Yang satu lagi, catatan baru dari seorang siswi bernama Azalea.

Dia memandangi keduanya dengan tajam, seolah bisa membaca lebih dari sekadar kata-kata di sana. Bukan isi surat yang dia cari. Tapi lengkung huruf, tekanan tinta, dan kebiasaan kecil yang tidak disadari manusia saat menulis.

Dia mengeluarkan ponsel, menekan sebuah kontak bernama: Dr. Anggara – Forensik Tulisan Tangan.

"Dokter, saya butuh bantuanmu, saya akan mengirim dua sampel tulisan tangan. Tolong cek... apakah penulisnya orang yang sama."

Kemudian dia mematikan telfonnya. Lalu memandang ke depan dengan tatapan tajam. Dan tersenyum miring melihat kedua kertas itu.

*

Langkah Leo terhenti di lorong fakultas sastra. Dia tak sengaja melihat sosok yang tak asing sedang duduk di bangku taman kecil kampus, berbincang santai dengan seorang wanita paruh baya—wanita yang sangat dikenalnya.

"Azalea?" gumam Leo, alisnya bertaut.

Azalea tertawa kecil, menyentuh lengan wanita itu dengan keakraban yang membuat dada Leo mendadak sesak. Dia tahu benar siapa perempuan yang sedang diajak bicara Azalea.

Leo melangkah pelan, seolah tak ingin mengganggu. Tapi suara ibunya memanggil cepat.

"Leo!" serunya dengan senyum lebar, "Sini, Nak!"

Azalea menoleh, tatapannya sempat kaget namun cepat tergantikan dengan anggukan sopan.

"Ah, kalian saling kenal rupanya," ucap Mama Leo girang, "Azalea anak yang sangat sopan. Pintar pula. Mama suka sekali ngobrol dengannya."

Leo diam. Pandangannya berganti dari ibunya ke Azalea yang kini berdiri, merapikan tas selempangnya. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya gugup. Tatapan Azalea teduh, namun sulit ditebak. Seperti selalu menyimpan sesuatu di balik senyumnya.

"Sayang sekali Mama harus buru-buru ke rapat rektorat," ucap Mamanya sambil menyambar map dari pangkuannya. "Kamu temani Azalea ya, gapapa kan Mama tinggal Azalea?"

"Tidak Apa-apa," jawab Azalea.

Kemudian Mama Leo berjalan cepat, langkahnya menghilang di balik dinding kaca gedung fakultas.

"Urusan apa kau bertemu dengan mamaku?" tanyanya langsung, suaranya rendah tapi tajam seperti silet.

Azalea menahan napas sejenak, "Aku hanya tanya-tanya tentang jurusan. Nggak lebih."

Leo tertawa kecil, pahit, "Lucu. Dari semua dosen di kampus ini, kenapa harus mamaku?"

"Kenapa tidak?" Azalea balas tenang, "Beliau terkenal di luar kampus maupun dalam kampus. Aku cuma ingin tahu perspektif orang dalam."

Leo melangkah mendekat. Tatapannya tak lepas dari wajah Azalea.

Lihat selengkapnya