Mimpi itu datang tanpa peringatan. Seperti kabut tebal yang melingkupi pikirannya, membawa Nathan kembali ke masa yang sudah lama dia pendam.
Langit sore di panti asuhan. Lapangan kecil dengan rumput yang tidak rata. Tawa anak-anak menggema, menyebar ke segala arah,
“Nathan, kamu jaga ya!” teriak salah satu temannya.
Nathan kecil menutup mata, mulai menghitung sambil menempel ke dinding tua bangunan, "Satu… dua… tiga…"
Permainan petak umpet. Suatu hal yang sederhana, tapi terasa begitu hidup waktu itu. Dunia belum serumit sekarang.
Begitu hitungan selesai, dia membuka mata, "Siap atau tidak, aku cari!" serunya.
Langkah kecilnya menyusuri halaman belakang panti. Dia mencari di balik pohon, di balik ayunan reyot, hingga akhirnya menyusuri bagian belakang sekolah yang bersebelahan dengan panti, terasa sunyi.
Lalu, dia melihat seseorang.
Seorang anak perempuan, berjongkok sendiri di sudut tanah berpasir, bermain dengan ranting kecil. Rambutnya panjang dan menutupi sebagian wajah. Bajunya lusuh, tapi ada sesuatu yang tenang dari sosok itu.
Nathan mendekat pelan. Dia menepuk pundaknya sambil berkata ringan, "Ketemu!"
Anak perempuan itu menoleh.
Wajahnya—Elena kecil.
Dia tersenyum. Tapi bukan senyum senang. Senyumnya kosong.
“Kamu menemukan aku, Nathan,” bisiknya.
Dan dalam sekejap, tubuh kecil itu berubah. Tubuhnya memanjang, membesar menjadi Elena versi remaja, dalam seragam sekolah, rambut awut-awutan, dan darah mengalir di wajah, leher, dan bajunya.
Matanya merah. Nafasnya cepat.
“Kenapa…” ucapnya, suaranya serak. “Kenapa kau melakukan ini padaku?”
Nathan kecil mundur perlahan, Napasnya tercekat.
“Kenapa kau diam saja?” jerit Elena.
“Kenapa kamu tidak menolongku?”
“Tidak…” bisik Nathan, air matanya mengalir, “Aku… aku…”
“Aku akan membalasmu.”
“Aku akan membuat kalian semua membayar.”
Nathan kecil itu berteriak. Tubuhnya jatuh ke belakang, menabrak tanah, kedua tangannya menahan tubuh agar tak terjungkal.
Nathan terbangun. Tubuhnya terdorong ke depan. Keringat dingin membasahi dahinya. Dadanya naik turun, napasnya memburu. Dia memandang sekeliling. Kamarnya yang gelap dan hening.
Tapi perasaan bersalah itu tetap tinggal.
Dan untuk pertama kalinya, dia mulai bertanya-tanya.
Jika yang ia lihat di mimpi itu adalah cermin dari kebenaran yang ia coba lupakan.
*
Pagi masih muda. Embun belum sepenuhnya menguap dari kaca jendela ruang musik. Ruangan itu sepi seperti biasa, hanya dipenuhi seperangkat gamelan yang tertata rapi—diam, seperti penjaga sunyi.
Azalea mendorong pintu perlahan. Suara engsel berderit halus, menyambut langkahnya yang ringan. Dia masuk dengan harapan ingin menyentuh satu atau dua bilah saron, membiarkan suara lembut logam mengisi pikirannya.
Tapi langkahnya terhenti. Zara sudah ada di sana. Duduk di dekat gong besar, punggungnya bersandar santai, tangan memainkan handphone seperti sedang menunggu.
Tatapan mereka bertemu. Tapi tak ada senyum. Tak ada salam.
Azalea tetap masuk. Tak menunjukkan ketegangan, seolah kehadiran Zara adalah angin lalu. Dia meletakkan tas di sudut, lalu mendekat ke bonang dan duduk di depannya.
Zara mengangkat satu alis, suaranya menyusul tak lama kemudian.