PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #28

Bab 27. Serangan Tanpa Wajah

Rumah itu terlalu sunyi. Sudah tiga hari Bianca tidak keluar kamar. Tirai jendela tertutup rapat, menahan cahaya matahari yang seharusnya menyapa pagi. Kamar luas bernuansa mewah itu kini seperti sangkar raksasa—dinding-dindingnya terasa sempit, menindih dari semua sisi.

Ponselnya sudah hening sejak kemarin. Tidak ada lagi notifikasi dari gengnya. Tidak ada pesan dari Christin. Bahkan Leo—yang biasanya suka mengajaknya bicara—tidak menghubungi sama sekali.

Bianca tahu alasannya. Video itu yang bocor ke portal sekolah.

Seseorang yang tidak sekadar ingin menghancurkannya. Tapi ingin membuatnya gila.

Dan Bianca hampir sampai ke titik itu.

Tok! Tok!

Suara pintu kamarnya diketuk dari luar.

“Non, makan dulu ya,” suara pembantu rumah tangga. Lembut, tapi tidak direspon.

Bianca tetap diam. Duduk di sudut ranjang, rambut berantakan, memeluk lutut. Di sekelilingnya: tumpukan kertas yang dirobek, foto-foto masa lalu, catatan-catatan ancaman yang dicetak dari email anonim. Beberapa tercoret, beberapa terbakar setengah.

Ponselnya menyala. Lalu Satu pesan baru masuk.

Anonim: Aku tak akan pernah lupa Bianca, apa yang kamu lakukan padaku!

Kali ini Bianca menangis. Bukan marah dan bukan ingin membalas, tapi takut.

Takut dirinya bukan lagi sang penguasa, tapi hanya pion dalam permainan yang jauh lebih besar.

Jarum jam sudah menunjuk angka sebelas malam.

Tapi Bianca masih duduk di pojok kamarnya, punggung bersandar ke dinding, lutut terlipat, mata sembab.

Ponselnya gemetar di genggaman. Berkali-kali dia menatap nama di layar, Leo Willbert.

Tangannya sempat ragu. Tapi suara-suara di kepalanya sudah terlalu bising. Tatapan orang-orang di sekolah, desas-desus yang menyebar di luar kendalinya, dan ancaman Anonim yang makin gila — semua mendorongnya ke satu pilihan.

Dia menekan tombol “Call”

Nada sambung.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali—“Halo?” suara Leo terdengar malas dan datar. Tapi bukan mengantuk — lebih seperti tidak percaya dengan siapa yang meneleponnya.

Bianca terdiam sesaat. Matanya menutup rapat.

Lalu dia bicara dengan suara serak, nyaris berbisik.

“Tolong... angkat aku dari neraka ini.”

Suasana hening. Leo menghela napas di seberang sana.

“Bianca... kamu yang bawa dirimu ke sana.”

“Bukan ini yang aku maksud,” suara Bianca mulai naik, “Aku diserang. Ada seseorang, dia tahu semuanya. Dia ngerekam aku... dia tahu hal-hal yang bahkan nggak pernah aku omongin ke siapa-siapa.”

Leo diam, lalu, “Kalau ini cuma salah satu drama kejatuhan ala Bianca, aku—”

“Leo, tolong diam.” Bianca menahan napas, “Aku... gak punya siapa-siapa sekarang. Christin bahkan gak balas chatku. Zara menjauh. Semua orang... semua orang menjauh,”

Air matanya mulai turun lagi,

“Kamu satu-satunya yang pernah benar-benar peduli sama aku, ”

Leo terdiam lama. Lalu bertanya pelan, hati-hati, “Apa yang dikirimin ke kamu?”

Bianca memejamkan mata, “Video. Rekaman suara. Ancaman. Bahkan yang waktu itu, yang kamu tahu,”

Suara Bianca tercekat, “Kalau yang ini bocor, Leo… aku habis. Bukan cuma di sekolah. Di keluarga. Di semuanya.”

Suasana hening lagi. Lalu suara Leo terdengar lebih dalam,

“Aku datang.”

Lihat selengkapnya