PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #30

Bab 29. Panggung Pengakuan

Pagi itu, sekolah terasa lebih dingin dari biasanya.

Langit berawan. Gerbang sekolah diselimuti kabut tipis.

Angin sepoi-sepoi membawa bisikan gosip yang menyebar lebih cepat dari cahaya.

Azalea berjalan masuk. Langkahnya tenang. Pandangannya lurus ke depan.

Padahal di setiap sudut lorong, ada bisikan. Ada tatapan.

“Itu dia...”

“Katanya dia bukan Azalea...”

“Nama aslinya… Anna?”

Azalea tak menggubris. Wajahnya netral. Dalam hatinya berperang, tapi ekspresinya tetap seperti kaca.

Saat masuk kelas, semua kepala menoleh serempak.

Seperti sedang menonton sebuah pertunjukan yang sudah lama dinanti.

Azalea menarik napas, lalu duduk. Kursinya terdengar berderit.

Beberapa detik kemudian, Christin berdiri dari bangkunya.

Dia melangkah ke depan kelas, membawa map bening.

"Teman-teman aku punya kabar baik..."

katanya ringan, seolah ini hanya presentasi biasa.

"Tentang seorang teman lama. Yang katanya sudah mati. Tapi ternyata..."

Dia berhenti. Menoleh pada Azalea.

"…hidup kembali."


Nathan masuk. Langkahnya pelan. Tapi seluruh ruangan langsung diam.

Dia mengamati suasana. Melihat Christin berdiri di depan kelas dengan map di tangan. Melihat Azalea—terdiam, dikelilingi tatapan.

Dia tahu ada yang tidak beres.

“Apa ini?”

Christin menoleh santai, “Kau datang di saat yang tepat. Aku sedang menjelaskan sesuatu yang penting untuk semua orang.”

“Tentang tulisan tangan,” dia mengangkat kedua kertas itu lebih tinggi.

Nathan melihat tulisan itu—dan langsung mengenali.

“Kau pakai tulisan untuk menuduh seseorang?”

“Aku hanya menunjukkan kemiripan,” kata Christin datar.

“Tulisan tak bisa bohong.”

Tatapan Nathan pada Christin tajam. Tapi tenangnya tetap dingin.

“Tulisan bisa mirip. Bahkan bisa sengaja dibuat serupa. Tapi menyebarkannya begini, di depan kelas… itu bukan cari kebenaran. Itu cari tontonan.”

Christin terdiam sejenak. Tapi sorot matanya tak goyah.

“Kau membelanya?”

Nathan tidak menjawab pertanyaan itu—karena jawabannya terlalu rumit untuk satu kata.

“Aku hanya tak suka pertunjukan yang merendahkan orang lain.”

Bel tanda pelajaran berbunyi. Tapi tak ada yang bergerak.

Christin menutup mapnya perlahan. Lalu menatap Azalea dan tersenyum, kali ini lebih tipis, lebih dingin.

“Hari ini kita akan tahu siapa Azalea sekarang.”

Suasana masih panas, tegangan tinggi. Azalea masih di bangkunya—diam, seolah tubuhnya tertinggal di ruangan itu tapi pikirannya melayang jauh.

Lalu, Leo angkat tangan pelan. Semua kepala menoleh. Leo duduk santai, bahu bersandar di kursi, tapi matanya tajam seperti pisau.

“Aku cuma mau tanya, Christin…” suaranya tenang, tapi ada nada sinis yang tak bisa disembunyikan.

“Kalau tulisan itu milik Anna dan Azalea... Apa maksudmu?”

Christin diam.

Lihat selengkapnya