Hujan rintik membasahi kaca jendela. Rumah Bu Mina sunyi, hanya suara detik jam dinding dan gelegar petir di kejauhan yang menemani. Di ruang tamu yang remang, Leo duduk di sofa dengan tubuh sedikit membungkuk. Matanya tajam menatap secangkir teh yang sudah mendingin di genggamannya.
Bu Mina muncul dari dapur, mengenakan cardigan tipis. Dia menatap Leo dengan sorot cemas.
"Jadi... kau yakin itu dia?" tanya Bu Mina pelan.
Leo mengangguk sekali, "Christin yang mencocokkan tulisan tangan Anna dengan Azalea. Dan hasilnya cocok."
Hening sesaat. Bu Mina menghela napas panjang, lalu duduk di seberang Leo. Tangannya gemetar saat meraih cangkirnya.
"Kalau begitu... dia benar-benar kembali," tatapannya kosong.
Leo menatap Bu Mina dalam-dalam, "Apa Azalea melakukan semua ini untuk balas dendam?"
Pertanyaan itu mengambang di udara seperti kabut. Bu Mina tidak langsung menjawab, seolah menimbang ratusan kenangan dalam pikirannya.
Akhirnya dia berkata lirih, "Setelah apa yang dia alami... siapa yang tidak akan menyimpan dendam, Leo?"
Leo mengepalkan tangan, "Tapi kita belum tahu pasti tujuannya. Bisa jadi dia hanya ingin kebenaran. Tapi kalau ini memang tentang balas dendam... kita harus berhati-hati."
Tatapan mereka bertemu, tegang dan Sunyi.
"Kita adalah bagian dari masa lalunya. Bagian yang mungkin ingin dia hancurkan," ucap Leo lirih.
Petir menyambar di luar jendela. Di balik cahaya itu, diam-diam Bu Mina memejamkan mata.
"Kamu tahu soal foto Christin dan Arion di kolam renang yang tersebar di portal sekolah?"
Leo mengangkat kepala, mengangguk perlahan, "Aku tahu... Apa ulah Azalea?"
Bu Mina duduk, menatap jauh, "Aku belum yakin, tapi jawaban mengarah kesana."
Hening sebentar. Bu Mina menarik napas dalam, "Kabarnya dia sekarang bagaimana?"
"Kelihatannya tenang, tapi aku tahu dia menyusun sesuatu. Waktu aku lihat dia di sekolah, tatapannya... bukan tatapan orang yang kalah. Dia mungkin sudah tahu siapa yang menjatuhkannya," terang Leo
Bu Mina pelan, "Dan kalau tebakanku soal Azalea benar... mungkin Christin bukan satu-satunya target."
*
Suara tamparan itu menggema di ruangan mewah yang selama ini hanya diisi ketegangan dingin. Arion mematung, wajahnya menoleh akibat hantaman tangan mamanya yang penuh amarah.
"Apa kau sudah gila, Arion?!" seru Mama, matanya membara, bukan sekadar marah-tapi luka lama yang menganga.
Arion menatap mamanya. Pipi kirinya berdenyut panas, bukan hanya karena tamparan itu, tapi karena rasa malu yang tak bisa dia tolak. Di atas meja ruang kerja keluarga, terpampang layar ponsel yang memutar ulang sebuah unggahan: foto dirinya mencium Christin di kolam renang.
Christin Elisabeth Adelison.
"Apa kau pikir aku akan diam melihat anakku menjadi mainan keluarga itu?! Mereka... mereka menghancurkan keluargaku dulu. Dan sekarang kau menyerahkan dirimu begitu saja?!"
Arion masih terdiam. Lidahnya kelu. Dia tahu luka Mamanya dengan keluarga Adelison terlalu dalam untuk sekadar diredam dengan kata maaf.
"Maaf Ma, aku gak tahu kalau ada yang memotret... Aku juga nggak pernah niat buat-"