Langit tampak kelabu di luar jendela rumah sakit. Suara alat monitor berdetak pelan, seperti denting waktu yang berjalan lambat.
Di dalam kamar rawat intensif itu, tubuh seorang gadis terbaring lemah. Rambutnya tergerai kusut di atas bantal, wajahnya pucat namun damai. Tidak ada yang tahu, di balik kelopak matanya yang tertutup, pikirannya sedang berjuang antara gelap dan terang.
Lalu, jari manis kirinya bergerak perlahan. Sang gadis yang selama ini dianggap tak akan kembali, mulai menunjukkan tanda kehidupan. Otot-otot wajahnya sedikit menegang, kelopak matanya tampak bergetar.
Seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan. Sesuatu yang selama ini terkubur bersama tubuhnya yang diam.
Tapi ruangan itu sunyi. Tak ada satu pun orang yang melihatnya.
Dan suara yang terkubur itu—masih menunggu waktu untuk benar-benar keluar.
*
Di sekolah, isu panas soal foto ciuman Arion dan Christin seolah lenyap ditelan waktu. Tak ada yang membicarakannya lagi secara terang-terangan. Para siswa tampak memilih diam, entah karena takut, atau karena tahu bahwa badai yang lebih besar akan datang.
Pagi itu, kelas 12 A masih sunyi. Kursi-kursi belum sepenuhnya terisi. Nathan datang paling awal, membawa aroma parfum yang tajam. Dia meletakkan tasnya, membuka buku catatan, dan duduk di kursinya tanpa suara. Tak lama, langkah Christin terdengar masuk.
Sepatu hitam mengkilatnya menghentak lantai dengan tenang namun menegangkan. Dia berjalan menuju tempat duduknya—berseberangan dengan Nathan—namun kali ini langkahnya terhenti di samping meja laki-laki itu.
“Nathan,” ucapnya pelan, “Aku mau bicara sebentar. Berdua.”
Tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya, Nathan menepis dingin, “Enggak perlu. Kalau mau bahas soal kemarin, aku gak tertarik.”
“Aku—”
“Kamu mau jelasin apa?” potong Nathan. Matanya baru benar-benar menatap Christin—tatapan tajam, penuh jijik, “Kamu pikir aku peduli?”
Christin menahan napas. Suasana kelas masih sepi. Hanya suara jarum jam dan desiran angin dari jendela yang terbuka sedikit.
“Aku cuma—”
“Kalau kamu ngelakuin semua itu karena mau manas-manasin aku,” lanjut Nathan pelan tapi penuh racun, “kamu murahan, Chris.”
Christin terdiam. Matanya membeku. Tapi Nathan belum selesai.
“Kamu bisa peluk Arion. Cium dia di mana aja. Aku gak perduli."
Wajahnya menahan amarahnya, “Aku lakukan itu... karena aku gak bisa sentuh kamu sedikit pun,” suaranya gemetar, tapi tetap keras, “Kamu bener-bener gak bisa disentuh, Nathan.”
Nathan mendengus pelan, lalu berdiri, “Karena aku tidak suka dengan caramu Christin. Kamu cuma tahu cara merusak.”
Dia melewati Christin begitu saja, meninggalkannya berdiri di antara lorong bangku yang kosong—sendiri dan diam.
*
Langkah-langkah berat Azalea menggema di aula tua yang sunyi. Matahari pagi baru saja menyelusup masuk lewat jendela besar yang berdebu, memecah kesepian ruangan dengan cahaya hangat namun menyilaukan. Di tengah aula, dia berdiri sendirian, menatap lukisan tua yang tergantung di dinding. Tangannya meraba pelan ukiran kayu di dinding, seolah mencari sesuatu yang terkubur dalam ingatannya.
“Anna!”
Suara lantang itu mengiris keheningan. Tubuh Azalea kaku. Jantungnya seperti terhenti sejenak. Dia menoleh cepat—refleks yang tak bisa dia kendalikan.
Dan di sana, berdiri Zara dengan tangan bersedekap, sorot matanya penuh kemenangan dan ketegasan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun bukan senyum ramah—melainkan senyum yang menandakan teka-tekinya telah terjawab.