Bu Mina baru saja keluar dari ruang guru ketika matanya tanpa sengaja menangkap sosok yang tak asing—Azalea.
Ada sesuatu pada wajah Azalea. Ketegasan yang disamarkan kelembutan. Seolah-olah gadis itu datang membawa maksud. Bu Mina melewatinya, lalu langkah Bu Mina terhenti begitu saja di koridor yang sunyi itu. Udara di antara mereka seakan membeku.
Mereka hanya berjarak beberapa meter, tapi heningnya seolah memekakkan telinga. Bu Mina berbalik.
Lalu, suara itu akhirnya keluar—dingin, penuh kecurigaan, dan langsung menebas.
“Apa tujuanmu sekolah disini?”
Azalea berhenti dan tidak menjawab.
“Balas dendam?”
Suara Bu Mina nyaris berbisik, namun terasa seperti bom yang meledak di kepala Azalea.
Sejenak, Azalea hanya menatap balik. Matanya tak gemetar, tapi napasnya menahan gelombang emosi yang mencoba menerobos keluar.
“Apa saya terlihat seperti seseorang yang menyimpan dendam, Bu?”
Senyum tipis menghiasi bibir Azalea—bukan senyum ramah, tapi semacam peringatan.
Bu Mina membalas dengan tatapan menusuk, seperti mencoba menembus lapisan wajah yang mungkin bukan wajah asli. Dia tahu betul, anak ini menyimpan lebih dari sekedar ambisi.
“Jangan main api kalau tak siap terbakar, Azalea,” gumam Bu Mina pelan.
“Oh, saya tak pernah takut api, Bu. Justru saya ingin tahu... siapa yang mulai menyalakannya duluan.”
Azalea kembali melangkah pergi. Meninggalkan Bu Mina. Tapi ketegangan yang tertinggal di udara terasa lebih berat dari kata-kata mana pun. Ada yang akan terbakar. Tinggal tunggu waktunya.
*
Di rumah mewah bergaya Eropa klasik itu, keheningan terasa mencengkeram setiap sudut ruangan. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar samar dari lantai bawah.
Tak lama kemudian, pintu kamar Bianca terbuka pelan. Leo berdiri di ambang pintu, ragu-ragu sebelum melangkah masuk. Wajahnya memancarkan kekhawatiran. Dia melihat Bianca duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong, bahunya sedikit bergetar. Tak ada tangis, tapi jelas—dia sedang terpuruk.
"Bianca..." panggil Leo pelan.
Bianca tidak menjawab. Dia hanya menoleh sekilas, lalu kembali menatap lantai. Di sampingnya, ponsel tergeletak dengan layar yang masih menyala—menampilkan salah satu dari foto-foto itu. Foto Christin dan Arion.
foto itu entah bagaimana sudah menghilang dari beberapa media sosial. Bahkan akun yang menyebarkannya lebih dulu sudah tak bisa diakses. Tidak butuh waktu lama baginya untuk mengerti siapa yang bermain di balik layar.
Christin atau lebih tepatnya, papanya.
Pria kaya raya itu bisa membeli banyak hal—termasuk reputasi dan ingatan orang-orang. Dalam dunia ini, uang seperti sulap. Menghapus bukti, menciptakan alibi, bahkan mengganti narasi.
*
Angin malam berembus lembut, menyusup di sela-sela tirai putih yang bergoyang ringan. Balkon kamar Christin terletak di lantai dua, menghadap langsung ke taman belakang yang sunyi dan gelap. Hanya lampu-lampu kecil di sepanjang pagar batu yang menyala redup, menciptakan bayangan remang yang menari di wajahnya.
Christin duduk menyilangkan kaki di kursi rotan, rokok menyala di antara jemarinya. Asapnya melayang pelan, menari bersama pikirannya yang berkecamuk. Di hadapannya, layar laptop menampilkan data—rekam jejak siswa, catatan akademik, potongan gosip sekolah, hingga laporan keuangan orang tua. Semua tersimpan rapi, sistematis, seperti seorang perencana perang yang tengah mengatur pasukannya.
Tatapannya tajam menatap satu nama di layar—Azalea Xaviera Hartono.
“Tidak cukup menjatuhkan dia. Aku harus membakar semua yang melindunginya,” gumamnya pelan.
Tangannya lalu berpindah ke halaman berikutnya. Satu per satu, nama-nama muncul. Wajah mereka terbayang dalam pikirannya. Leo? terlalu kasihan. Arion? Terlalu mudah tersulut. Nathan? Emosinya terlalu kacau. Zara? Bisa, tapi terlalu loyal.
Namun satu nama membuat senyuman tipis terbentuk di sudut bibirnya—Bianca.
Christin menyandarkan tubuhnya, menghisap rokoknya dalam-dalam sebelum menghembuskan asapnya ke udara malam. Wajah Bianca yang ambisius, emosional, dan haus validasi muncul dalam benaknya. Dan yang terpenting: mudah dikendalikan dengan luka lamanya.