Pagi itu, langit masih kelabu setelah semalaman diguyur hujan. Genangan air di jalanan belum juga surut, menciptakan pantulan buram dari bangunan megah Sekolah Hugo. Tapi Bianca tidak peduli. Mobil hitamnya berhenti di depan gerbang sekolah, dan dia turun dengan langkah tegas. Sepatu haknya menghantam paving basah tanpa ragu. Wajahnya tertutup kacamata hitam, meski matahari nyaris belum tampak.
Hari ini, dia datang bukan sekadar untuk belajar. Dia datang untuk menghancurkan Azalea.
Langkahnya tak goyah saat memasuki lobi. Para siswa lain memperhatikannya, sebagian bergosip pelan, tapi Bianca tak menggubris. Hari ini, dia akan mulai mengeksekusi rencana yang semalam dia dapatkan dari Christin. Sebuah strategi licik, manipulatif—dan tidak bermoral.
Tapi jika itu bisa membuat Azalea tersingkir, maka moral adalah hal terakhir yang akan dia pikirkan.
Bianca tahu, Azalea menyembunyikan banyak hal. Dan Bianca akan menjadi orang yang membongkarnya—satu demi satu.
Para siswa menoleh. Beberapa berbisik pelan. Belum seminggu sejak skandal bullying meledak di portal sekolah dan nama Bianca jadi bahan gosip seluruh angkatan. Tapi hari ini, bukan rasa malu yang dia bawa—melainkan misi.
Saat masuk ke gedung utama, Bianca tidak menuju kelas. Dia langsung menuju ruang OSIS, tempat Azalea biasa berkegiatan setelah dipercaya menjadi perwakilan siswa baru dalam komite seni.
Ketika pintu dibuka, hanya Zara yang ada di sana.
"Mana dia?" tanya Bianca, suaranya datar.
Zara menatap Bianca bingung, "Azalea baru saja ke ruang galeri, katanya mau lihat hasil kurasi lukisan siswa baru."
Bianca tak menunggu jawaban lengkap. Dia sudah melangkah pergi. Sepatunya mengetuk lantai marmer seperti denting jam kematian.
_____________________________
Di ruang galeri sekolah. Azalea sedang membungkuk, memperhatikan lukisan seorang siswa yang menggambarkan gedung tua yang terbakar. Matanya penuh minat, sampai suara Bianca terdengar dari belakangnya.
"Ternyata kau disini."
Sepasang sepatu hitam mengkilap berdetak mantap di atas lantai marmer, membuat siswa-siswi yang berkumpul menepi dengan tatapan heran—seakan menyadari bahwa Bianca hari ini bukanlah Bianca yang kemarin.
"Apa kau lihat ekspresinya? Menyeramkan," bisik seorang siswa pada temannya.
Azalea menoleh, “Apa lagi, Bianca?”
Bianca mendekat pelan, seperti predator, “Aku datang untuk mengakhiri sandiwara manis yang kamu mainkan di sini. Semua orang berpikir kamu sempurna, misterius, bahkan layak dikasihani. Tapi aku tahu kamu bukan siapa-siapa.”
Azalea menegakkan tubuhnya, “Kamu marah karena orang mulai melihat siapa kamu sebenarnya.”
Bianca tertawa pelan, “Lucu. Kamu pikir kamu bisa bertahan di sekolah ini hanya dengan wajah baru dan nama baru? Aku akan cabut topengmu satu per satu, Azalea atau siapa pun kamu sebenarnya.”
Azalea diam. Tapi sorot matanya tak goyah. Dalam hatinya, dia tahu ini baru permulaan. Permainan catur sudah dimulai. Dan Bianca bukan bidak terakhir.
Bianca menatap mata Azalea tajam, “Kau pikir masuk ke sekolah ini, bisa mencuri perhatian semua orang, dan bertingkah seperti kau milik tempat ini?”
Azalea mengangkat dagu, tak gentar, “Apa maksud perkataanmu itu?”
Bianca mendekat, “Kau tak tau melawan dengan siapa Azalea... Atau... lebih tepatnya, Anna?”
Azalea membeku. Kata itu tak seharusnya ada di mulut siapa pun.
Bianca tersenyum, puas melihat reaksi itu, “Tenang saja. Rahasia kecilmu aman. Selama... kau tidak macam-macam denganku.”