Langit sore memantulkan warna jingga pucat di permukaan aspal yang basah. Nathan berdiri di sisi tempat parkir sepeda, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku jaket. Matanya terus mencari satu sosok — Azalea.
Beberapa siswa lewat sambil bercakap-cakap, tapi Nathan tidak memperhatikan. Baru ketika pintu gerbang terbuka, dia melihat mobil hitam yang dikenalnya melaju pelan. Azalea keluar dari gedung, rambutnya tergerai tertiup angin sore. Tanpa ragu, dia langsung menuju mobilnya yang sudah menunggu di halaman.
Nathan sempat melangkah, tapi sebelum sempat memanggil, Azalea sudah membuka pintu dan masuk. Mobil itu segera melaju, meninggalkan Nathan berdiri di tempatnya, dengan satu kalimat yang tak sempat dia ucapkan.
Dia menghela napas panjang. Entah kenapa, langkahnya terasa berat untuk sekadar menyusul.
______________________________
Aroma antiseptik menyambut Azalea begitu dia melewati pintu rumah sakit. Koridor panjang terasa sunyi, hanya suara roda ranjang pasien yang bergeser pelan terdengar dari kejauhan. Dia membawa tas kecil, langkahnya mantap menuju ruang rawat di lantai dua.
Di dalam kamar, Elena terbaring diam di ranjang putih, wajahnya pucat namun damai. Selang infus masih menempel di tangannya. Azalea berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada ibunya yang duduk di kursi samping ranjang.
Senyum tipis terbit di bibir sang ibu ketika melihat putrinya masuk, “Lea…” suaranya lembut, tapi mengandung sesuatu yang jarang terdengar belakangan ini — harapan.
Azalea menghampiri, duduk di kursi sebelah, “Ada apa, Bu?”
Ibunya menatap Elena, lalu kembali menoleh ke Azalea, “Tadi… suster bilang Elena menunjukkan respons. Jarinya bergerak. Hanya sebentar.”
Azalea terdiam, matanya membulat. Dia menatap jemari Elena yang pucat, membayangkan pergerakan kecil itu. Sebuah kilasan masa lalu muncul di kepalanya — tawa mereka, tangan yang saling menggenggam.
Perlahan, dia menyentuh tangan Elena, “Elena… kalau kau bisa mendengar aku… aku janji, semuanya akan baik-baik saja.”
Di luar, suara hujan tipis mulai terdengar, seakan dunia pun ikut menunggu keajaiban berikutnya.
*
Langit biru cerah membentang di atas halaman Sekolah Hugo, matahari pagi memantulkan kilau hangat di kaca-kaca gedung. Meski cuaca sempurna, suasana di sekolah justru dipenuhi riuh rendah bisik-bisik dan tatapan penuh rasa ingin tahu.
Siswa-siswa berkerumun di berbagai sudut, layar ponsel di tangan mereka memancarkan cahaya yang sama — sebuah postingan anonim di portal gosip sekolah.
Di bagian atas postingan itu, tertera foto Azalea, diikuti dengan tulisan tebal:
AZALEA = ANNA.
Nama baru, wajah baru, masa lalu yang kelam. Bukti-bukti di bawah ini akan membuka mata kalian.
Deretan foto lama mulai bermunculan di layar-layar ponsel: potret seorang gadis panti asuhan, foto kegiatan di masa lalu, hingga tangkapan layar dari dokumen daftar siswa lama. Semua dihubungkan oleh kalimat-kalimat tajam yang menyudutkan, seolah-olah disusun untuk membuat semua orang yakin bahwa Azalea dan Anna adalah orang yang sama.
“Serius ini orangnya?” bisik seorang siswi dengan nada tak percaya.
“Mirip banget, cuma rambutnya aja yang beda,” jawab temannya sambil menatap foto.
“Aku kira dia anak orang kaya pindahan, ternyata…” suara lain menggantung, tapi tatapannya penuh penilaian.
Lorong sekolah dipenuhi bisik-bisik dan tatapan yang diam-diam mengikuti setiap langkah Azalea. Begitu dia masuk gerbang, obrolan mereda sebentar, hanya untuk kembali pecah dalam bisikan lebih pelan.
Azalea berjalan tegak, meski jantungnya berdetak cepat. Pandangannya lurus ke depan, menolak memberi mereka kepuasan melihat dirinya goyah.