PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #37

Bab 36. Api Yang Tak Berwajah

Azalea berdiri di depan pintu rumah Oliv dengan map cokelat di tangannya. Udara sore itu terasa padat, seolah membawa beban yang sama beratnya dengan pikirannya.

Begitu pintu terbuka, Oliv langsung menariknya masuk, “Sudah datang, tapi, apa yang kamu bawa?”

Azalea menaruh map di meja. Dia membuka isinya — beberapa lembar kertas dengan cap resmi, “Tes DNA. Antara Angel dan Elena.”

Oliv membungkuk, membaca cepat. Matanya terangkat, penuh rasa ingin tahu, “Dan kau ingin melakukan apa dengan ini?”

Azalea menatap lurus, “Menggunakannya saat waktunya tepat. Tapi sebelum itu… aku mau kita membuat pengalih perhatian yang cukup besar.”

Senyum Oliv mengembang, tipis namun penuh arti, “Kebetulan aku punya sesuatu.”

Dia mengambil ponselnya, membuka sebuah folder tersembunyi, “Audio ini… Arion dan Christin. Bukan video, hanya suara. Tapi cukup jelas untuk membuat semua orang membayangkan lebih buruk dari yang sebenarnya.”

Azalea mendengarkan sebentar — desahan samar, suara napas berat, dan bisikan yang terlalu intim untuk dibantah. Dia menegakkan tubuhnya, bibirnya melengkung.

“Oke, aku sangat menyukainya.”

Oliv mengetik cepat, memilih beberapa grup anonim di sekolah, “Begitu audio ini keluar, semua mata akan tertuju pada mereka. Dan di saat itu… kau bisa bergerak bebas.”

Azalea menyandarkan diri ke kursi, suaranya rendah.

“Biarkan mereka terbakar oleh api yang mereka pikir tak terlihat. Aku akan menunggu di balik asapnya.”

Oliv menekan kirim. Dalam hitungan menit, ponselnya berdering dengan notifikasi dari segala arah. Di luar, langit mulai meredup — tapi badai sesungguhnya baru saja dimulai.

*

Pagi itu sekolah seakan tidak bisa diam. Di lorong, kantin, bahkan di halaman, semua orang menunduk pada ponsel masing-masing. Bisik-bisik bercampur dengan tawa tertahan.

Christin berjalan masuk, mengenakan seragam rapi dan senyum tipis yang biasa dia pakai untuk menutupi emosi. Tapi langkahnya terhenti ketika beberapa siswa di depannya tiba-tiba terdiam dan memandangnya. Lalu tertawa kecil sambil saling menyikut.

Dia langsung melihat handphonya. Sebuah file audio sudah beredar di grup sekolah. Desahan samar, suara napas berat. Bisikan yang jelas—Arion dengan Christin.

Christin menggenggam ponsel itu erat, rahangnya mengeras, “Sial,” gumamnya.

Belum sempat dia bereaksi, Arion muncul dari arah berlawanan. Wajahnya tegang, langkahnya cepat, “Christin… kita perlu bicara. Sekarang.”

Mereka berdua masuk ke ruang diamond room, pintu langsung tertutup rapat.

“Aku nggak tahu siapa yang—” Arion mulai bicara, tapi Christin memotong.

“Kau pikir aku bodoh? Kau pikir cuma aku yang akan dicurigai?”

“Aku juga kena, Christin!” Arion bersandar ke meja, nadanya meninggi, “Ini cuma audio. Nggak ada bukti kalau itu kita. Kita bisa bilang itu rekayasa.”

Lihat selengkapnya