Sore itu, langit Sekolah Hugo berwarna jingga lembut, cahaya menembus jendela besar lorong utama. Sekolah ramai, tapi bagi beberapa orang, hari itu terasa berbeda—seolah ada beban tak terlihat menempel di setiap langkah.
Di ruang OSIS, Christin menatap layar laptopnya, menilai setiap gerakan Azalea di sekolah. Dia masih marah dan cemburu, tapi hatinya menajam.
Di sudut lain, Arion menatap layar ponsel dengan senyum tipis, audio panas masih menggema di pikirannya. Dia menahan rasa malu dari hukuman mamanya, tapi pikirannya sudah jauh ke langkah selanjutnya. Strategi balas dendam mulai terbentuk, bergerak perlahan tapi pasti.
Bu Mina dan Leo bertemu diam-diam, membahas dua kasus terakhir: audio panas yang menyudutkan Arion dan Christin, serta identitas Azalea sebagai Anna. Wajah mereka serius, sadar bahwa semuanya bisa berubah kapan saja.
Nathan duduk di bangku taman, menatap halaman yang mulai sepi. Angin mengibaskan rambutnya, tapi wajahnya tenang, hampir tersenyum.
Tiba-tiba, Azalea muncul dari sisi pohon, langkahnya ringan tapi pasti. Dengan cepat, dia merangkul lengan Nathan. Senyum Nathan muncul—hangat, nyaman, dan begitu tulus.
Christin yang berdiri agak jauh, tersentak melihat pemandangan itu. Dada terasa sesak, dan hatinya bergejolak. Dia menelan amarahnya, tapi sorot matanya tajam, penuh frustrasi dan cemburu.
Setelah memejamkan matanya. Itu hanya ilusinya saja. Yang dikira Nathan dengan Azalea ternyata siswa dan siswi lain.
Di kejauhan, Arion menatap adegan itu diam-diam. Dia memperhatikan Christin, yang biasanya tak pernah menunjukkan kelemahan. Tapi hari ini, hanya diam dan pergi, jelas menunjukkan kekalahan emosionalnya. Arion tersenyum tipis, lalu memilih untuk pergi tanpa mengganggu.
*
Bianca melangkah cepat di lorong, sepatu haknya menghantam lantai marmer dengan ritme mantap. Dia masih memikirkan strategi untuk menghadapi Christin, tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat menabrak sosok yang berdiri di depannya: Zara.
Zara menatap Bianca dengan mata tajam, penuh kebencian yang lama terpendam, “Oh, lihat siapa yang muncul. Selalu merasa bisa menguasai semuanya, ya?” suara Zara dingin, menampar telinga Bianca tanpa kata basa-basi.
Bianca menyipitkan mata, “Zara… jangan sok tahu. Apa maksudmu ini?” suara Bianca datar, tapi ada nada ancaman yang samar.
Zara melangkah mendekat, jarak hanya beberapa inci, “Maksudku jelas... Kenapa kau kembali, sudah bagus dirumah, masih saja datang kesini."
Bianca tersenyum tipis, wajahnya tetap tenang, tapi matanya menajam.
“Jangan ikut campur Zara, aku tahu semua tentangmu. Jadi sebelum kau bicara terlalu lantang, pikirkan dulu konsekuensinya.”
Zara tertawa sinis, “Aku tidak takut padamu, Bianca. Kau boleh punya rencana, tapi jangan kira aku akan diam saja.”
"Benar, kau punya Christin. Tapi, dia sebentar lagi akan hancur. Dan kau ikut hancur bersamanya."