Pagi itu, suasana rumah Hartono agak hening. Di ruang keluarga, televisi menayangkan berita yang membuat semua orang berhenti sejenak. Banyak portal online dan HP menayangkan topik yang sama: identitas Anna, atau Azalea, yang ternyata bukan anak kandung Hartono, melainkan anak panti yang menghilang.
Ibu Azalea, yang tengah menyiapkan sarapan, berhenti sebentar menatap layar televisi, tangan yang semula memegang spatula kini menggantung di udara. Ayah Azalea, yang sedang membaca koran, menundukkan korannya dan fokus pada berita itu, alisnya berkerut.
Azalea menuruni tangga, langkahnya perlahan menuju ruang makan. Matanya tertuju pada televisi, lalu menatap ayahnya dengan ekspresi terkejut.
“Ini… apa?” ucapnya pelan, suaranya bergetar.
Ayahnya meraih tangan Azalea dan menepuk pundaknya, menenangkan, “Tenang, nak. Kita hadapi ini bersama-sama.”
Ibu Azalea kemudian meletakkan spatula dan mendekat, memeluk putrinya, “Kamu tidak sendiri, sayang. Kita akan lalui ini semua.”
Azalea menunduk sejenak, menelan rasa cemasnya, tapi tetap merasa lega ada kedua orang tuanya di sisinya.
Tak lama setelah berita itu tersebar, deretan mobil wartawan mulai terlihat di halaman rumah Hartono. Kamera, mikrofon, dan cahaya lampu sorot menyapa pintu gerbang rumah.
Azalea menatap dari jendela, dadanya berdebar. Dia menelan ludah, berusaha menenangkan diri, tapi panik jelas terlihat dari matanya.
“Aku… aku harus tegar,” gumamnya pelan, menegakkan punggung.
Ayah dan ibunya berdiri di sampingnya, memberi dukungan diam-diam.
“Kamu bisa, Lea. Hanya sampaikan yang benar,” kata ayahnya, suaranya lembut tapi tegas.
Azalea menarik napas panjang, lalu membuka pintu depan dengan langkah ragu tapi mantap. Para wartawan langsung mengarahkan mikrofon ke arahnya, sementara lampu kamera menyorot wajahnya.
Dia menatap mereka sejenak, menahan gemetar di bibir dan suara yang ingin pecah, “Saya… saya akan memberikan pernyataan,” ucapnya akhirnya, mencoba terdengar tegar meski jantungnya berdegup kencang.
Para wartawan segera mengerumuni Azalea, kamera menyorot, mikrofon diarahkan padanya. Beberapa pertanyaan datang bertubi-tubi.
“Azalea, apakah benar Anda bukan anak kandung Hartono?”
“Bagaimana perasaan Anda setelah identitas Anda terbongkar ke publik?”
Azalea menelan ludah, menatap ke arah ayah dan ibunya sejenak untuk mendapat keberanian. Napasnya bergetar, tapi dia menahan gemetar itu.
“Ya… berita itu memang benar,” ucapnya dengan suara lembut namun tegas.