PRATIKARA (SEASON1)

Ira A. Margireta
Chapter #41

Bab 40. Bersambung: Awal Dari Kehancuran

Langit sore berwarna jingga keemasan, angin berhembus lembut menyapu rambut Azalea. Saat dia duduk di tepi atap sekolah. Pandangannya menatap jauh ke cakrawala, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. Detik-detik ini terasa panjang—seakan dunia di bawahnya hilang, hanya ada dia sendiri dan perasaan yang bercampur aduk.

“Azalea…”

Suara lembut itu membuatnya menoleh. Nathan berdiri beberapa langkah di belakang, wajahnya penuh kekhawatiran. Tanpa menunggu jawaban, dia melangkah mendekat dan duduk di samping Azalea. Perlahan, Nathan meraih tangan Azalea, menenangkannya dengan lembut.

“Hei… kamu nggak sendiri. Aku di sini.”

Azalea menunduk sejenak, mata berembun. Dia merasakan kehangatan yang familiar, sesuatu yang membuat hatinya sedikit lebih ringan.

Tanpa pikir panjang, dia memeluk Nathan. Pelukan itu bukan sekadar gestur, tapi sebuah pernyataan diam bahwa dia boleh merasa lelah, boleh takut, tapi tidak harus menghadapi semuanya sendiri. Nathan membalas pelukan itu dengan kuat, menenangkan, seolah menyerap semua kecemasan yang ada.

Sementara itu, Christin tidak diam. Di salah satu ruang privat sekolah, dia menatap layar ponsel dan dokumen yang terserak di meja. Bibirnya melengkung tipis, senyum dingin yang selalu menandakan rencana jahat tengah dipikirkan.

“Tidak… aku tidak akan kalah. Azalea mungkin telah mencuri perhatian, tapi aku masih punya waktu… masih ada langkah yang bisa aku mainkan,” gumamnya.

Setiap gerakan tangannya saat menyusun strategi terlihat cermat, penuh perhitungan. Dia tahu, ini bukan hanya tentang menang atau kalah, tapi tentang siapa yang akan menguasai permainan ini—dan Christin bertekad, itu akan menjadi dirinya.

Di balkon sekolah, Arion berdiri diam, menatap jauh ke arah ruang Christin. Dia melihat Christin yang tengah melamun, mata kosong menatap dokumen dan layar di depannya. Arion merasakan sakit di dada. Christin terlalu ambisius, terlalu ingin menghancurkan Azalea, hingga tanpa sadar dia menempatkan dirinya sendiri dalam kehancuran. Arion menunduk, merasakan kesedihan yang mendalam, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Ambisi Christin terlalu kuat, dan itu akan berakibat fatal pada dirinya sendiri.

Sementara itu, di ruang musik sekolah, Bu Mina tengah duduk di meja, menata beberapa dokumen. Tiba-tiba sebuah paket kecil muncul di meja. Dengan hati-hati, dia membuka paket itu. Di dalamnya ada sebuah surat. Hatinya berdegup cepat saat membaca kalimat yang tertulis dengan tinta tegas:

"Kebenaran akan segera Terungkap."

Dia menatap surat itu sejenak, merasakan ketegangan yang tak bisa diabaikan. Siapa yang mengirimnya? Apa maksud dari pesan itu? Semua pertanyaan itu berputar di kepalanya, sementara detik-detik berlalu perlahan.

*


Senja meredup, menyisakan garis jingga tipis yang perlahan dilahap kelam. Leo duduk di tepian atap, lutut tertekuk, satu tangan menopang dagu. Angin sore membawa hawa dingin yang menusuk tulang. Tapi, pikirannya jauh lebih berisik daripada suara langit.

Langkah berderit di belakang membuatnya menoleh sekilas. Bianca berdiri beberapa meter darinya, rambutnya tergerai, diterpa angin hingga wajahnya tampak rapuh. Dia menggigit bibir, seolah ragu untuk maju.

“Leo…” suaranya hampir larut bersama desir angin.

Lihat selengkapnya