Predicted Era : Mean

Hendika A. Cantona
Chapter #1

Green Army Jacket

Kehampaan. Begitu gelap hingga mata tak mampu melihat apapun di sekitarnya. Semua sisi tidak dapat dibedakan. Seberkas cahaya kuning cerah memancar perlahan mendorong warna hitam pergi. Titik biru yang terjatuh, menutupi permukaan dan terus bergerak bagai gelombang di samudra.

Di ujung samudra nampak gundukan tanah yang ditumbuhi makhluk hidup berwarna hijau. Semakin banyak dan menjulang tinggi. Kehidupan semakin nampak saat warna kelabu berhembus menggoyangkan ranting dan dahan, menggugurkan daun yang tidak sanggup bertahan menuju langit yang tinggi.

Meskipun angkasa berwarna gelap, namun banyak titik putih yang tersebar. Saat salah satu cahaya jatuh, ada satu makhluk –yang dengan bodohnya– berlari berusaha menangkapnya. Harapan untuk mengejar bintang membuat tubuhnya ringan dan kedua sayap muncul dari punggungnya. 

Namun keserakahan menguasai dan dia mengabaikan tujuan awalnya, makhluk itu tersenyum sambil berusaha naik semakin tinggi tanpa keinginan turun ke tempatnya berasal. Sayap itu merontokkan bulunya satu persatu hingga menjatuhkan tubuh yang sudah tak berdaya, jantungnya berdesir, keringat bercucuran deras dan dia hanya bisa memejamkan mata dengan pasrah menerima nasibnya sebagai ‘Manusia’.

Nafasnya tersengal sambil membuka mata dari kegelapan, melihat langit-langit ruangan dengan cahaya remang. Tangannya –yang basah karena keringat– berusaha menggapai benda hitam di atas meja, dia melirik pelan angka yang tertulis di benda tersebut. 04.45 AM.

“Sial! Mimpi jatuh lagi,” umpatnya dan kembali menutup mata.

Dia mengangkat tubuhnya perlahan dan terduduk, mengusap wajah lalu menghempaskan selimut, menurunkan kedua kaki dan berdiri sambil melempar ponselnya ke atas bantal. 

Sosok wanita yang berdiri di hadapannya tersentak kaget begitu dia membuka pintu. “Loh, tumben bangun jam segini. Mimpi buruk lagi?”

Dia hanya menguap sambil berjalan menuju kamar mandi.

“Udah siap semua? Ini hari pertama, jadi jangan buat masalah di sekolah!” ucap wanita tadi sambil menyiapkan sarapan.

“Paling isinya cuma upacara pembukaan, perkenalan, bikin regu piket… terus pulang. Bawa pulpen sama buku satu aja udah cukup.”

“Hei, ini kan permulaan… paling ndak kamu harus beri kesan yang bagus.”

“Udah ah, aku berangkat dulu. Assalamu’alaikum!” ucapnya yang langsung mencium tangan ibunya dan bergegas pergi.

Setelah menunggu bus di halte cukup lama akhirnya datanglah bus berwarna merah yang penuh sesak, namun tetap dia naiki karena sekolahnya berada di luar kota. Saat berjalan melewati gerbang sekolah, dia melihat sebuah bros bentuk matahari tergeletak di tanah.

‘Punya siapa ini?’ batinnya sambil membalik bros tersebut dan menampilkan huruf arab gundul, tanpa pikir panjang langsung dia masukkan dalam saku jaket warna hijau army yang dia kenakan.

Setelah upacara selesai, seorang cowok mendatangi dia yang sedang mengambil tas di rerumputan dekat lapangan upacara. “Hai, Multimedia 4 kan?”

Dia hanya melirik sekilas sambil mengangkat tasnya, “Kita sekelas ternyata,” jawabnya singkat dan cowok tersebut berjalan mengikuti.

Cowok bermata sipit dan berkulit cerah tersebut sedang tersenyum sambil membalas sapaan kakak OSIS, dan dia yang sejak tadi hanya diam mengamati kini mulai berceletuk. “Hebat ya murid jalur khusus yang satu ini!”

“Siapa?” tanya cowok itu sambil tersenyum, dan membuat orang yang lebih pendek beberapa senti di sampingnya mengubah raut wajah.

“Jangan pura-pura bodoh, siapa lagi orang di sampingku? Murid dari luar negeri pertama di sekolah ini, populer di antara cewek se-angkatan bahkan kakak kelas, aku udah dengar itu sejak hari pertama Orientasi.” Ucapnya ketus.

“Wah… terima kasih!” celetuknya hangat dan membuat orang di sampinya geram.

“Itu bukan pujian, Dasar!”

Setelah beberapa saat mereka sampai di kelas yang sudah dipenuhi murid, “Sial, bangku belakang penuh semua!” gumamnya sambil menelisik setiap sudut kelas.

“Ck! Kenapa bangku kosong cuma ada di depan meja guru, sih?” decaknya kesal sambil duduk di bangku yang tersisa dengan terpaksa, cowok yang sedari tadi bersamanya langsung meletakkan tas di bangku sebelah.

Pria dengan pakaian PNS memasuki kelas dan membuat suasana kelas menjadi hening. “Pagi semua! Saya Triawan Pambudi yang menjadi wali kelas kalian sekaligus pengampu mapel Bahasa Mandarin, panggil saja Tria laoshe.”

‘Sekolah kayak ‘gini kenapa ada bahasa mandarin segala sih?’ batin dia sambil melirik guru muda berwajah oriental itu.

“Sebelum perkenalan, saya ingin tahu siapa dari kalian yang ingin menjadi ketua kelas?” pria muda itu menelisik murid yang saling pandang dalam diam. “Kalau begitu saya acak saja, ada yang punya saran?”

Seorang murid mengangkat tangan, “Ini dia murid paling menggemparkan sekolah ini, Ming Zongxian. Kamu mau jadi ketua kelas?” tanya Tria Laoshe sambil tersenyum.

“Bukan saya, tapi yang duduk di sebelah saya ini.” Ucapan Xian membuat orang yang ditunjuk terbelalak kaget.

“Apa-apaan kamu main asal tunjuk, ndak!” sahutnya dengan cepat.

“Memangnya kenapa kamu tidak mau jadi ketua kelas?” sambung Tria Laoshe.

Lihat selengkapnya