Preman Kampret

Alex Gunawan
Chapter #1

A Quest for A Kiss

Bagaimana seseorang bisa menemukan cinta sejati?

Tidak ada yang tahu pasti…

Tapi ada yang bilang, kalau cinta sejati selalu menemukan jalannya sendiri…

 

Kisah ini dimulai pada suatu pagi di awal bulan Maret, tahun 2008.

Jalanan masih menghitam basah, dan bau aspal tercium menyengat hidung, ketika seorang remaja berlari menyusuri lapak pedagang kaki lima yang baru membentang dagangan mereka. Keringatnya sebuliran jagung, jatuh bercucuran membasahi kening. Tasnya berayun memukuli punggung, tapi semangatnya mengejar bis kota tetap tak bergeming. Ketika ia akhirnya berhasil melompat masuk, tatapan tak sedap segera menyambutnya.

“Hei, stop! Jangan masuk lay!” teriak sang kondektur. “Sudah sesak nih! Kau berdiri di pintu saja lah!”

Luphi manyun, tapi remaja itupun menurut.

“Ugh. Kena angin begini, bisa bikin pilekku jadi kambuh lagi,” gerutunya sambil tersengal. Nafasnya masih belum kembali normal.

“Eh. Nak, biar nggak gampang kena pilek, kamu musti banyak minum air anget,” bisik seorang ibu tua yang kebetulan duduk di kursi sebelahnya berdiri.

“Ibu punya air hangat?” tanya Luphi.

“Ada, sebentar…” Si ibu tua mengambil sebotol air mineral dari tasnya, lalu dikepit di ketiak. “Tunggu 5 menit yah, saya angetin dulu.”

“Waduh. Ga jadi deh Bu, terimakasih.”

Beberapa penumpang saling berbisik ketika mereka melihat wajah Luphi. Remaja itu sadar kalau ia mulai menarik perhatian. Ia lalu menaikkan kerah seragam, dan membenamkan kepalanya dalam lipatan lengan. Lirik lagu Sheila on Seven ia senandungkan dengan pelan. Selama perjalanan menuju sekolah, ia berusaha acuh dengan gunjingan para penumpang.

 

Tepat lima menit sebelum bel masuk berbunyi, Luphi akhirnya tiba di tujuan. Ketika ia berjalan melewati gerbang sekolah, tatapan tak sedap kembali menyambutnya.

“Hei, awas, ada si Muka Koreng!”

“Iih, liat mukanya…”

“Yuk, kita pergi yuk!”

 

Luphi sudah terbiasa dengan keadaan ini. Tatapan aneh, penolakan dan gunjingan… Kemanapun ia melangkah, orang-orang pasti risih dengan bekas luka bakar yang menghias sepertiga pipi kanannya. Luphi si Muka Koreng… itulah julukan yang diberikan oleh murid-murid di sekolah.

Luphi mendapatkan luka bakar itu sekitar 6 tahun yang lalu. Waktu itu, terjadi perang antar geng preman di lingkungan tempat tinggalnya. Peristiwa yang diliput oleh banyak media massa itu mengakibatkan puluhan rumah rusak, dan 1 rumah terbakar habis… rumah milik keluarga Luphi.

Luka bakar itu, entah bagaimana, telah membuat jurang tak terlihat antara dirinya dengan orang sekitar.

 

“Hai monyet koreng, tunggu!” teriak seseorang dari belakang.

Luphi kenal dengan suara serak-serak basah ini. Ia menoleh, seorang remaja gendut berkacamata bulat berusaha menyusul sambil menuntun sepeda motor. Luphi berkacak pinggang. Akhirnya ia tersenyum.

“Luph, apa lu udah belajar untuk ulangan biologi nanti?” tanya Didi.

“Sudah dong,” sahut Luphi. Ia lalu mengeluarkan sebuah buku dari tasnya. “Nih. Sudah saya tandai pake stabilo kuning mana-mana ajah yang penting.”

“Makasih, Luph. Lo memang benar-benar penyelamat gue…”

Didi menerima buku biologi Luphi. Ketika ia buka, seluruh halamannya sudah dicat kuning semua.

 

Didi adalah teman akrab Luphi di SMA Perjuangan, salah satu dari sedikit orang yang masih mau berteman dengannya. Namun biar umurnya masih 17 tahun, badan Didi yang bongsor, ditambah wajahnya yang sudah tumbuh kumis, sering membuatnya dikira om genit yang lagi nyamar jadi anak sekolah. Didi si Celeng Mesum… itulah julukan yang diberikan oleh teman-temannya.

 

“Eh, Luph, lo udah denger kabar terbaru tentang si Mbak Chaterine?”

“M… MBAK CHATERINE?!” pekik Luphi, tanpa sadar tangannya mencengkeram kerah Didi. “Emang ada apa dengan si Mbak Chaterine?! Dia lagi kesusahan apa?!”

“Sabar men, tenang…” Didi tersenyum mesum. “Mending kita tunggu si Nyoto deh. Soalnya dia yang punya cerita lengkapnya.”

Tapi Luphi tidak bisa tenang, “Aduh, tapi si cacing itu datangnya suka telat…”

Nyoto adalah teman akrabnya yang kedua. Tubuhnya kurus kering, wajahnya berminyak, dan rambutnya ketombean. Julukannya di SMA Perjuangan: si Cacing Gila.

 

Luphi berjalan mondar mandir dengan gelisah. Pikirannya tidak bisa lepas dari Chaterine, gadis paling sempurna yang pernah ia lihat dalam 17 tahun hidupnya di dunia ini.

This girl has everything, dude!

Luphi selalu berkhayal suatu hari nanti dia bisa jalan berdua dengan Chaterine… bergandengan tangan menyusuri kali Sunter yang hitam, makan malam romantis di warung soto Pak Cuplis, nonton film horor di Bioskop Misbar – gerimis langsung bubar, dan menikmati indahnya matahari terbenam dari atap ITC Mangga Dua.

Tapi tentu saja ini adalah impian orang kere, dan tidak mungkin Chaterine yang berasal dari keluarga perlente itu akan pernah menyanggupinya.

 

“Oi, selamat pagi teman-teman…” sapa seorang remaja kurus yang baru masuk gerbang sekolah. “Kalian pada nungguin aku, ya?”

“Sini, Nyot!” Luphi menarik tangan Nyoto. Ia sudah tidak sabar ingin mendengar kabar terbaru tentang Mbak Chaterine.

“Tunggu, tunggu. Sebentar…” Nyoto merogoh kantong celananya, mengeluarkan sebungkus permen dan sehelai celana dalam cewek.

“IH, JIJIK BANGET SIH, NYOT!” teriak Didi.

“Duh, Nyoto, cawet tetangga mana lagi yang kamu embat nih!” hardik Luphi sambil merebut celana dalam dan permen itu, lalu dibuang ke tong sampah. “Sifat klepto kamu itu musti segera diobati, tau nggak! Kamu itu musti ke psikiater.”

Nyoto merengut, “Ah, tapi aku kan mengambilnya tanpa sadar, kawan… Tadi tahu-tahu di tengah jalan, celana dalam itu sudah ada di saku celanaku. Aku tidak ingat kapan ngambilnya. Tapi kalau permen itu aku ngambilnya bukan karena klepto, lho… Beneran. Aku ngambilnya diem-diem dari celana orang…”

Bletak! Nyoto dijitak Didi.

“Itu namanya nyopet, sama ajah!”

Nyoto memang lain dari yang lain. Anak ini punya kebiasaan klepto dan hobi nyopet, meski menurutnya semua itu dilakukan tanpa sadar. Karena itulah ia dijuluki si Cacing Gila.

Meski demikian, Luphi dan Didi tetap berteman baik dengannya, karena Nyoto merupakan aset mereka yang sangat penting… Nyoto adalah informan mereka, sumber berita tentang segala hal yang menyangkut Chaterine, karena mereka berdua tinggal bertetangga. Lebih jelasnya, Chaterine tinggal di pemukiman elit dengan pintu gerbang raksasa yang megah dan jalan masuk selebar 15 meter, dan Nyoto tinggal di rumah kecil di sebelah pintu gerbang raksasa itu.

“Nyot, kamu punya informasi baru apa tentang Mbak Chaterine?” tanya Luphi, tidak sabar.

Mendengar nama Chaterine, pipi Nyoto langsung bersemu merah. “AH… Mbak Chaterine tercinta…” Tanpa sadar ia mengambil dompet dari celana Luphi.

BLETAK!

Luphi menjitak Nyoto, dan mengambil kembali dompetnya.

“Nyot, elo jangan sebut nama si Mbak Chaterine yang gue cintai itu sembarangan yah, gue ga terima nih!” semprot Didi. Ia sedikit tersinggung. “Apalagi pake tampang mesum kaya barusan!”

“Lho, emang kenapa sih. Kan aku juga cinta sama si Mbak Chaterine, jadi suka-suka aku kan?” balas Nyoto, sambil balik melotot.

“Udah-udah, jangan mulai berantem deh!” lerai Luphi.

Mereka bertiga memang sama-sama penggemar berat si Chaterine, dan kalau sudah mulai bercerita tentang gadis cantik itu, mereka bisa saling cemburuan sendiri.

“Kan tadi katanya ada informasi penting, informasi apa sih?”

Nyoto melengos, “Jadi begini… Aku kemarin dengar kabar dari kakak temannya teman aku, yang kebetulan satu dosen tugas akhir sama si Mbak Chaterine tercinta… Ada kabar gumbira!”

Lihat selengkapnya