Beberapa hari sudah berlalu semenjak kejadian heboh dengan para bencong, namun bayangan sang gadis bertopi lebar masih terus melekat di ingatan Luphi.
Pada suatu siang, sewaktu jam istirahat, Luphi kembali teringat dengan sang gadis misterius. Celana jeansnya yang robek, tatapan matanya yang angkuh, wangi tubuhnya yang khas… serta sisir hijaunya yang unik.
“Sisir yang cuma tinggal satu tulangan?” lamunnya sambil mengelus pipi kanannya yang kasar dan berbonggol. Ia lalu mendesah, dan suara desahannya terdengar menggema di ruang kelas yang sepi.
Kelas 11B pada siang hari memang selalu sepi. Murid-muridnya kebanyakan menghabiskan waktu istirahat mereka dengan jajan di kantin atau bermain di halaman sekolah. Namun Luphi selalu memilih untuk tinggal di kelas sambil menunggu kedua teman akrabnya datang.
“Hai, Luph!”
Luphi menoleh, “Lho, mana si Nyoto?”
“Lagi di ruang guru,” jawab Didi sambil duduk di bangku depan Luphi. “Makan yuk, gue laper nih…”
“Nyoto ditinggal ajah?”
“Udah, tinggal ajah. Dia sekarang lagi dimarahin sama Pak Darno tuh, gara-gara jawaban ujian kimianya salah semua. Masa pertanyaan tentang… sebutkan salah satu unsur dalam proses pembentukan asam nitrat, dijawab… unsur ketidaksengajaan. Kan bego banget tuh. Pak Darno kalo lagi marah, bisa sampe pulang sekolah baru beres.”
Luphi mangut-mangut. “Emang kalau kamu jawabnya apa?”
“Gue? Kalau gue jawab… unsur mistis.”
“Beeh…” Luphi melengos. “Sama ngawurnya.”
Tiba-tiba bayangan gelap menutupi pandangan Luphi. Di depan jendela kelas, dua cewek murid kelas 12 yang badannya bak raksasa melintas. Luphi tidak tahu nama kedua cewek itu, namun ia tahu julukan mereka… si Panda dan Koala dari neraka. Wajah dan bentuk tubuh mereka memang mirip panda dan koala sih…
Mereka berdua adalah cewek paling sadis di SMA Perjuangan. Tingkah mereka yang suka mengintimidasi anak-anak kelas lain, merampas bekal makan siang milik teman, mencorat-coret tembok WC, dan suka pipis sembarangan, sungguh membuat jengkel. Tapi sampai saat ini tidak ada yang berani menegur mereka, termasuk para guru sekalipun.
Biasanya Luphi tidak terlalu perduli dengan keberadaan kakak kelasnya ini, namun sekarang, ada sesuatu yang menarik perhatiannya.
“Hoi, Di… Coba liat tuh,” ujarnya sambil menarik kerah Didi.
Didi membetulkan letak kacamatanya, lalu memandang dengan seksama, “Si Panda dan Koala dari neraka?”
“Coba liat di saku depan baju mereka…” bisik Luphi lagi.
Didi mengerenyit, “Saku depan… ada sisir nongol?”
“Iya, sisir hijau!” Luphi menepuk bahu temannya. “Dua-duanya bawa sisir hijau… dan patah!”
Didi kembali mengerenyit, “Emangnya kenapa? Mereka emang tiap hari selalu bawa sisir itu kok. Emang aneh kalau cewek bawa sisir? Gue ajah tiap hari selalu bawa gincu punya nyokap gue…”
BLETAK! Luphi menjitak Didi, menyadarkan kalau omongannya barusan sudah mulai abnormal.
“Tapi gadis preman yang ngerampok saya kemarin itu juga bawa sisir hijau! Sisir hijau yang patah…” ujar Luphi sambil lari keluar kelas.
Didi yang kebingungan, ikut bangkit dan lari membuntuti.
* * *
“Panda, idung elo ada nyium bau-bauan kaga?” tanya Koala. Tangannya bergerak pelan meletakkan gelas es kelapa muda ke atas meja. Hidungnya tampak naik turun kaya hidung onta lagi nyium ketek.
Panda meletakkan cangkir kopi hitam cap Jenggot Kambing miliknya, lalu hidungnya ikutan naik turun.
“Sniff sniff… Hm… Emang sih, dari tadi emang idung gue kaya nyium sesuatu. Kaya ada bau-bauan dari luar…” balas Panda sambil terus membaui, “Hm… seperti wangi bunga…”
“Sniff… iya, enak yah wanginya…”
“Iya… sniff sniff…”
Mereka berdua kembali membaui dengan perasaan riang.
Pak Sohab, sang penjaga kantin, datang dan meletakkan nasi goreng pesanan mereka sambil geleng-geleng kepala, “Neng, ini bau septic tank dari WC sebelah yang lagi bocor…”
“HOOEK!!!” Panda dan Koala kecele, langsung nggak napsu lagi buat makan.
Tapi sesaat kemudian, mereka kembali melihat 2 bayangan mencurigakan di balik tembok. Panda sadar kalau bayangan itu sudah mengikuti mereka sejak beberapa saat lalu. Betul-betul tingkah yang mencurigakan. Koala mengedipkan satu mata, memberi tanda untuk menyergap bayangan misterius itu. Panda mengangguk setuju.
Koala mengambil tempat di sisi kiri pintu masuk kantin, Panda merapat ke jendela.
Koala berbisik, “Gue itung sampai 7, terus kita seruduk barengan!”
Panda merespon, “Ngitung sampai 7? Kebanyakan, dodol…”
“Emang maunya ngitung sampai berapa?” balas Koala sambil mengerenyit. Saat seperti ini sangat tidak pas untuk membahas masalah hitungan.
“Hitung sampai 6!” perintah Panda dengan mantab.
Panda dan Koala mulai bergerak menuju ke sasaran. Bayangan di balik tembok terlihat ikut bergerak, lalu berhenti, dan sesaat bayangan itu tampak ragu.
Tidak menyia-nyiakan kesempatan, Panda langsung melompati jendela kantin…
“CIAAAT!!!”
GEDEBUM!
Panda terjatuh karena kakinya nyangkut di kusen jendela!
Koala tidak kalah sigap. Ia melompat lewat daun pintu…
“HIIIAAAT!!!”
Namun na’as, kakinya mendarat di keset…
“HIAAAAAAaaaaaAAAAaaaaaAAA…” teriaknya sambil ngesot pakai satu kaki. Tapi hebatnya ia tidak terjatuh!
“HEI KAMPRET!!! SIAPA KALIAN!!! DARI GENG MANA?!” teriak Koala setelah berhasil berdiri dengan tegap lagi. Panda yang benjol, bangkit dan ikut berdiri di samping Koala.
Luphi dan Didi tertangkap basah.
“AH… ANU… ANU… A… ANU…” Didi kehabisan kata-kata. Tampang seram kedua cewek macho di hadapannya telah meruntuhkan seluruh iman dan keberanian Didi. Ia lalu mengeluarkan jurus terakhir untuk menyelamatkan diri, “TEMAN GUE INI MAU NGASIH SURAT CINTA KE KALIAN BERDUA!!!”
“HEEH?!” Luphi melotot kaget, tapi Didi sudah kabur duluan, meninggalkannya sendirian.