Di sebuah kawasan kumuh di daerah pergudangan Jakarta Utara, tepat di samping badan jalan tol, ada sebuah sebuah lapangan yang cukup luas. Lapangan itu terlihat sangat kontras dengan bangunan kumuh yang padat di sekeliling pagar batanya yang tinggi.
Jalanan aspal di depannya terlihat sepi. Beberapa pemulung memilih untuk ngambil jalan memutar yang lebih jauh, daripada lewat depan gerbang lapangan itu.
Di bagian belakang lapangan, ada beberapa bangunan gudang yang sudah tua. Sengnya berkarat coklat kemerahan. Sebuah gudang yang berada paling dekat dengan gerbang masuk tampak dijaga ketat oleh puluhan orang berperawakan besar. Masing-masing orang itu membawa sebuah benda yang sama… sebuah kapak merah.
Guk guk… auooooooo….
Lolongan serigala dari televisi di rumah salah satu warga membuat suasana malam ini menjadi semakin seram.
Dari balik rerimbunan semak, di seberang kompleks pergudangan itu, 3 bayangan misterius bergerak dengan hati-hati sambil menghindari sorotan lampu jalanan.
Salah satu dari mereka mengangkat kepalanya, lalu melongok ke dalam halaman, “Yang jagain gerbang ga seramai yang jagain gudang. Apa kita mau coba masuk diam-diam?”
“Hus, gila lu Nyot,” maki Didi. “Kita butuh strategi buat masuk ke dalem.”
Ia lalu melihat ke ujung jalan, ke sebuah rumah tua yang kaca depannya berhias neon sign warna warni. “Mending kita ke sana dulu, tanya-tanya tentang kondisi daerah ini. Inget katanya Sun Tsu, si pengarang kitab perang jaman dulu, kalau kita sudah mengenal daerah musuh dengan baik, maka kita sudah 50% menang…”
Luphi dan Nyoto mengangguk setuju.
Sesampainya di tujuan, mereka bertiga melihat sebuah papan reklame yang sangat mencolok, ditempel di atas jendela berkaca mozaik.
“SALON CHACHA - Kami memperbaiki hidup anda”
Luphi dan Didi bengong membaca nama salon di depan mereka.
“Wah, namanya mirip nama salon punya Mami aku,“ gumam Nyoto. “Masa Mami buka cabang di sini?”
Luphi dan Didi kini bengong menatap teman mereka.
“Perbaikan hidung - 50 rebu rupiah… Memperluas mata – 70 rebu rupiah… Sedot lemak – 80 rebu rupiah…” Didi membaca tulisan di kaca salon sambil mengerutkan dahi, “… Make up ala model Korea – 120 rebu rupiah… Senam payudara – gratis…”
“Ini salon kecantikan apa tempat operasi plastik?” gumam Luphi.
Cress… cress… cress…
Lampu neon berwarna ungu di sisi atas pintu tampak memijar, mengeluarkan sedikit percikan api setiap kena tetesan hujan dari plafon kanopi yang bocor.
Luphi memandang ke sekeliling. Tidak ada orang lagi di daerah sekitar rumah ini.
Nyoto memegang kenop pintu dengan ragu, namun setelah beberapa saat, ia membuka pintu salon dan berjalan masuk. Alunan musik India sayup-sayup terdengar memanjakan telinga. Haesan jaiya jaiyaaa…
“Halo… ada orang di sini?”
Ruang depan salon itu tidak begitu luas, hanya sekitar 4x3 meter persegi. Di tembok sebelah kiri tampak 3 set kursi dengan cermin di depannya. Di bagian kanan ada sebuah bangku tunggu, dengan meja kecil dan bunga plastik yang sudah berdebu. Dinding ruangan itu dicat warna hijau, dan sudah mengelupas di sana sini.
“Anu… halo, ada orang nggak di sini?” sapa Nyoto sekali lagi.
Luphi memperhatikan pigura besar berisi foto seorang wanita yang sedang mandi, menghiasi dinding belakang kasir sendirian. Foto hitam putih itu sudah menguning, tampak sangat tua umurnya. Luphi penasaran dan berjalan mendekat. Ternyata setelah diperhatikan lagi, foto itu bukan foto wanita lagi mandi, tapi foto seorang pria sedang pub di sungai. Luphi kecele.
“Halooo?”
“Ya ya, saye kelua saye kelua…” seorang wanita tua dengan dandanan nyentrik muncul dari balik tirai. Wanita itu berambut putih, keriting, dan berbaju ala Gipsi dengan banyak aksesoris kalung yang terlihat berat. Pipinya berkerut dan tampak menyolok dengan blush on warna merah jambu. Bibirnya yang sedikit manyun terlihat menyala dalam balutan lipstik warna oranye.
“Aaa, awak-awak bertige nak ape?” wanita tua itu menatap Luphi, Nyoto dan Didi bergantian. Suaranya terdengar sedikit serak dalam logat Melayunya yang khas. “Awak nak potong titit ke?”
“Po… potong… titit?!” teriak Nyoto, kaget.