“Hei, bangun! Ayo bangun!”
Panda mengerejap, lalu membuka mata. Suasana sekitar terlihat remang-remang. Ia hendak bergerak, namun tangan dan kakinya ternyata terikat erat. Ia hendak berteriak, tapi mulutnya disumpal oleh sehelai saputangan dekil dan bau.
“Hei, ayo banguuun!”
Suara handrikan itu terdengar lagi dari sisi kanannya. Panda menoleh, dan melihat seorang anggota Kapak Merah berkepala botak sedang memarahi sebuah peti kayu besar berisi minuman keras. “Bagong siah, masih nggak mau bangun juga? Mau saya gebuk pake sapu?!”
Panda menatap si Botak dengan bingung.
“Heh, Botak… Yang elo marahin itu peti kayu, bukan sandera kite!” teriak pria berberewok lebat dari meja di sudut ruangan. “Sandera kite itu yang lagi nungging disebelahnye…”
Si Botak memicing, mengenakan kacamata, lalu memandang ke sebelah, kemudian tampak kaget setelah melihat Panda, “Lho, kamu di situ toh!”
KAMPRET! Panda tersinggung, masa ia tidak bisa dibedain sama kotak kayu sih!
Seorang pria kekar dengan luka codet memanjang vertikal di mata kanannya, meletakkan selembar kartu domino ke atas meja. “Hehe. Boss muda kabarnya sudah mau pulang. Akhirnya kita bisa bebas lagi kaya dulu…” ujarnya sambil terkekeh, lalu mengambil sepuntung rokok dari asbak dan menghirupnya dalam-dalam. “Fuuuuh...”
“Hehehehe. Betul kate lo, Codet… Kalo Boss muda udah dateng, kite bisa foya-foya lagi,” balas si Brewok, sambil membanting selembar kartu domino ke atas kartu milik si Codet. “Menang gue.”
“ Belum,” si Codet menyeringai, kemudian memandang ke si Botak, “Heh, Botak, elo masih mau ikutan maen kagak nih?!”
“Ah, bentar-bentar…” Si Botak kini jongkok di depan Panda. Mulutnya cengengesan. Tangannya memegang sisir warna hijau milik Panda, lalu mulai menyisir kepalanya yang plontos.
“Wah, sisir kamu bagus yah, abang suka banget…” kata si Botak dengan nada mesra.
Panda merinding.
“Hoi, Botak, lo jangan suka godain cewek lain, inget bini lo lagi nunggu di rumah...” sindir si Brewok.
“Hus, saya teh masih single atuh, masih belum kawin,” balas si Botak, sewot. “Dasar kampret kamu, Wok... Fitnah ajah bisanya...”
“Lha, kalo elo belon kawin, terus cewek yang ada di rumah lo itu siape dong?” tanya si Codet.
“ITU TEH IBU SAYA, MONYONG!!!”
“Oooooh...” Brewok dan Codet cekikikan. “Selama ini gue kira itu bini lo. Gue kira lo itu emang sukanya sama tipe nenek-nenek. Ah, terang ajah lo berdua akur banget. Ternyata emang Enyak sama anak sendiri...”
“Bagong siah...” umpat si Botak, sebal.
Panda bengong menatap mereka semua.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari halaman depan.
“Ada apaan tuh?” tanya Brewok.
Si Botak dan Si Codet ikut memasang telinga.
“Heh, denger… Ada yang tereak maling!”
“Kampret! Nekat banget tuh maling masuk ke wilayeh kite!”
Si Brewok bergegas keluar dari gudang, disusul oleh si Botak dan si Codet.
Panda mengerejap, ia kini sendirian di dalam gudang yang luas.
Suara gaduh dari halaman depan makin lama makin terdengar menjauh.
Ini saatnya kalau mau meloloskan diri.
Panda mulai meregangkan tangannya yang kekar, mencoba untuk melepaskan diri dari ikatan, namun gagal. Ia berusaha bangun, namun tidak bisa karena kakinya juga diikat. Ia mencoba guling-guling sampai ke pintu… BLETAK! Namun berhenti di tengah jalan karena kejedot meja.
Srek!
Tiba-tiba terdengar suara mencurigakan dari balik pintu.
Panda tegang.
Keringat dingin kembali membanjiri keningnya yang kini benjol.
“Kak Panda?” tiba-tiba ada suara memanggil namanya. Panda terhenyak. Itu pasti pasukan penyelamat! Panda hendak menyahut, tapi tidak bisa karena mulutnya masih disumpal.
“Kak Panda? Yuhuuu…” suara itu terdengar lagi.
Panda mencoba teriak, tapi karena disumpal, jadi yang keluar cuma suara kecil mirip kentut. Kecil banget dan nggak mungkin kedengeran.
“Wah, Luphi… bukan di sini. Di sini ga ada orangnya.”
KAMPRET! Pikir Panda. Apakah penyelamatnya itu tidak memikirkan kemungkinan kalau mulut sanderanya dibekap? Tangan dan kakinya diikat? Tapi apapun yang akan terjadi, tim penolong di balik pintu itu harus segera diberi tahu tentang keberadaannya, sebelum mereka pergi.
Panda memandang sekeliling, dan matanya akhirnya tertuju kembali pada meja yang sudah membuat kepalanya benjol tadi.
Panda menarik nafas panjang, lalu kembali berguling dengan cepat, dan membenturkan kepalanya dengan keras ke kaki meja. BHAGH!
“Ah, apa itu?”
“Jangan-jangan itu suara si Kak Panda?”
Panda berhasil. Biarpun kini di jidatnya ada 2 benjol, tapi usahanya tidak sia-sia.
“Ah, tapi kayanya bukan deh… Bukan, bukan… tidak mungkin… itu barusan pasti suara kucing, Luph.”
“Kamu serius, Nyot?”
“Serius. Kucing di rumah aku sering banget bunyi kaya gitu, apalagi kalau lagi musim kawin.”
What the hell!
Mata Panda memerah dan dari kepalanya keluar asap. Ia marah berat. Dalam hati ia bersumpah, kalau ia berhasil lolos, si Nyoto kampret itu mulutnya bakal ia bikin jadi bersuara kaya kucing kawin di rumahnya.
“Udah udah, waktu kita mepet banget nih, sekarang mending kita periksa gudang sebelah sana!”
“Tapi kamu yakin di gudang ini ga ada kak Panda?”
“Luphi, percaya deh sama aku. Itu tadi suara kucing kawin.”
Panda mulai panik. Ia kembali melihat ke sekeliling, tapi hanya meja di depannya ini satu-satunya alat komunikasi yang terpikir olehnya. Panda menarik nafas, berdoa, lalu sekali lagi membenturkan kepalanya...
BHAG!
“Lho, suara apa lagi tuh?”
“Ais, sudah aku bilang, itu suara kucing kawin!”
BHAG! BHAG!
“Tapi kok suaranya berulang-ulang?”
“Berarti kucing yang kawin ada banyak…”
BHAG! BHAG! BHAG! BHAG!
“Tunggu sebentar, kayanya ada yang mencurigakan di dalam gudang ini…”
BHAG! BHAG! BHAG!
Pintu gudang lalu terbuka sedikit, dan wajah Luphi-pun nongol.
“ASTAGA!” Luphi segera merangsek masuk ke dalam, dan menemukan si Panda yang wajahnya sudah bonyok di sana sini.
“KAK PANDA, BERTAHANLAH!” Luphi membuka ikatan tangan dan kaki Panda, lalu menyingkirkan penyumbat mulutnya. “KAK PANDA!”
Panda yang hampir mati, membuka kedua matanya, lalu menatap Nyoto yang baru tiba.
Remaja ceking itu tampak syok, “Waduh, ternyata beneran ada kak Panda toh. Aku kira tadi itu suara kucing kawin… Maaf Kak.”
Jari telunjuk Panda terangkat, mengayun memanggil Nyoto.
Remaja ceking itu datang mendekat, “I… iya kak?”
Panda membuka mulutnya yang sudah pecah dan berdarah, lalu berbisik pelan, “Kh… kh… khampret… lo…”
* * *
BRAG!
Pintu gudang hampir pecah berantakan ditendang oleh si Brewok. Ia tampak sangat kesal.
“Kampret! Malingnya berhasil kabur!”
Si Codet kembali duduk sambil menaikkan kedua kakinya ke atas meja, lalu menghela nafas panjang, “Ah, gue rasa, si bocah gendut itu bohong. Soalnya nggak mungkin ada maling yang berani beroperasi di wilayah kite.”
Si Botak yang baru masuk tiba-tiba terdiam. Ia memandang ke sekeliling.
“Botak, kenapa lo?” tanya si Codet.
“Hm, kayanya ada sesuatu yang beda sama waktu sebelum kita pergi keluar tadi…” jawab si Botak.
Si Brewok dan si Codet ikut memperhatikan sekeliling mereka.
“Iye, kayanya ada yang beda deh…”
Si Brewok memandang ke kaki meja di depannya. Kaki meja itu kini terlihat agak bonyok, “AH, kampret! Lihat nih! Pasti tadi ada kucing kawin di sini. Dasar kampret!”
Si Codet ikutan memperhatikan kaki meja yang sudah agak bonyok itu, “Wah, iya bener. Tadi pasti banyak kucing kawin di situ deh.”
Si Brewok mangut-mangut.
“HEI, BUKAN, DODOL! TAHANAN KITA KABUR!” teriak si Botak.
Si Codet dan Brewok tersentak. “AH, IYA BENER, DASAR KAMPRET!” Mereka berdua mengeluarkan kapak merah dari balik baju, lalu bergegas keluar lagi dari gudang.
Si Botak mengumpat, “Kampret. Gadis itu pasti masih belum jauh!” Ia sekali lagi memandang ke sekeliling, lalu ikut menyusul kedua temannya. “Tahanan lepas! Awas ada tahanan lepas!”
Suasana kini kembali sepi.
Lampu gudang berayun pelan tertiup angin malam.
Pintu gudang sedikit terbuka.
Suasana luar yang agak gelap, dapat terlihat dengan jelas dari sudut ruangan yang tertutup oleh tumpukan kotak-kotak kayu berisi minuman keras.
Setelah suara langkah kaki para anggota Kapak Merah tidak terdengar lagi, Luphi dan Nyoto muncul dari balik tumpukan kotak kayu.
“Sudah aman…” bisik Nyoto.
“Iya, sekarang saatnya kita kabur…” Luphi menunduk, menarik lengan Panda yang lemas, membantunya berdiri, lalu membopongnya. “Nyot, ugh… berat nih…”
“Bentar…” Nyoto ikut membantu membopong Panda. “Waduh, lebih berat dari kulkas di rumahku…”
Bletak! Biarpun si Panda lagi lemas, namun ia masih sanggup menjitak Nyoto.
Mereka bertiga berjalan perlahan menuju ke pintu. Panda melangkah sambil menahan sakit. Wajahnya yang babak belur akibat diadu sama kaki meja tampak mengenaskan.
“Wah, aku ga nyangka kalau ide ini bakal berhasil…” kata Nyoto. Ia masih merasa takjub. “Bebas. Sebentar lagi kita bebas, Kak Panda.”
“Nyot, sekarang masih belum saatnya untuk senang, kita masih belum lolos betulan…” sahut Luphi.
“Ko.. Koala… mana si Koala?” tanya Panda. Suaranya masih terdengar lemah.
“Kak Koala sudah selamat.”
“Iya. Ia sedang menunggu kita di rumah.”
“Ah…” Panda tersenyum, “Baguslah. Lalu sekarang, apa rencana kita untuk meloloskan diri?”
Luphi dan Nyoto terdiam.
“Hoi… Rencana kaburnya apa?”
“Kak Panda, um… sebenarnya kami tadi hanya berpikir bagaimana caranya untuk masuk, belum berpikir bagaimana caranya untuk keluar…” kata Luphi.
Panda melongo.
“Jadi… kalian datang tanpa persiapan?”
“AH, Kak Panda, bagaimana kalau kita lari saja?” Luphi mencoba mengeluarkan ide agar Panda menjadi tenang. “Jarak dari gudang ke pintu pagar sekitar 200 meter, dan jarak dari pintu pagar ke jalan tol sekitar 100 meter. Hanya 300 meter! Kalau kita lari cepat, mungkin kita bisa selamat!”
BLETAK! Luphi KO dijitak Panda.
“AH, tiba-tiba aku dapet ide briliant, bagaimana kalau kita…”
BLETAK! Nyoto juga KO dijitak Panda, padahal dia belum sempat ngomongin idenya.
“Dasar kalian semua kampret! Masuk ke markas Kapak Merah, tapi tanpa persiapan, itu sama saja seperti bunuh diri!” Panda menjatuhkan diri ke lantai. Tubuhnya tiba-tiba terasa lemas. “Kampret… Lo kira anggota Kapak Merah isinya cuma tiga orang tadi? Mereka itu ada puluhan. Mereka itu salah satu geng preman paling berbahaya di Jakarta! Ugh…” Panda menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, “Padahal, padahal gue kira temen-temen gue di Sisir Ijo bakal dateng nyelametin gue. Tapi nggak taunya, cuma kampret-kamret ga guna…” Panda tercekat, lalu mulai terisak.
Luphi dan Nyoto tertegun.
Panda berjalan gontai ke sudut gudang, lalu jongkok di sana. Lututnya ditarik dan tangannya ditekuk untuk menutupi wajah. Ia mulai menangis.
“Gue… gue udah dibuang… Hu huu huuu…”
“Kak… Kak Panda…” Luphi ingin menghibur, tapi tidak ada satu alasan indah yang terpikir olehnya saat ini. Ia akhirnya ikut diam, menunduk dalam sunyi.
Di depan gudang, suara langkah kaki mulai terdengar lagi. Teriakan ‘Sandera hilang! Ayo cari!’ terdengar di mana-mana.
Panda benar.
Mereka sudah melakukan tindakan bunuh diri.
Kini tinggal menunggu waktu sampai salah satu anggota Kapak Merah kembali masuk ke dalam gudang dan memergoki mereka bertiga. Lalu hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Sebenarnya…” ujar Nyoto memecah kesunyian, ia menghampir Panda, “Sebenarnya… kalau Kak Panda mau tahu ini semua salah siapa…”
Panda mengangkat kepalanya.
“Sebenarnya… INI SEMUA SALAH LUPHI!” teriak Nyoto sambil menuding Luphi.
“Hah?!” Luphi bengong memandang Nyoto. Saat seperti ini sangat tidak pas buat main salah-salahan.
“INI SALAH LUPHI! DIA YANG BIKIN TEMAN-TEMAN SISIR IJO NGGAK DATANG KEMARI, KARENA DIA BILANG DIA YANG BAKAL NYELAMETIN KAK PANDA!”
Panda menatap Luphi.
“Ah… anu…” Luphi menggeleng-gelengkan kepalanya dengan salah tingkah, lalu melotot memandang Nyoto, “Cacing… sekarang bukan saatnya…”
“LUPHI NGANCEM BAKAL LAPORIN KE POLISI KALAU SAMPAI MEREKA DATANG!”
“Hei hei…”
“LUPHI NGANCEM BAKAL NYUMPAHIN MEREKA GA BISA HIDUP NORMAL LAGI!!!”
“Nyoto!”