Setelah 10 hari tinggal di rumah sakit, Luphi akhirnya diperbolehkan pulang ke rumah. Seluruh biaya rumah sakit Luphi digratiskan oleh ayah Kalea. Lalu sebagai balasan sekaligus ucapan terimakasih, Ibu Luphi setiap hari mengirim sebungkus besar pecel lele ke rumah Kalea.
“Luphi, pecel lele ibu lo enak banget!” puji Kalea.
“Ah… iya… Itu sebagai ucapan terimakasih dari Ibu,” balas Luphi.
“Tapi kok dikirim tiap hari sih? Apa ibu lo nggak rugi?”
“Wah, malah ibu saya rencananya bakal ngirim terus kok, minimal sampai biaya rumah sakitnya lunas…”
“Waduh, berarti bisa selamanya tuh…” gumam Kalea.
Luphi meringis. Ia dan Kalea kembali berjalan menyusuri koridor sekolah, sambil membawa tumpukan buku tugas dari ruang guru. Setelah pulang dari rumah sakit, Luphi tiba-tiba diangkat sebagai wakil ketua kelas 11B. Tampaknya sang kepala sekolah dan guru wali kelas terkesan dengan berita Luphi yang berhasil menyelamatkan seorang bayi dari musibah kebakaran.
“HAI MUMI!” sapa Didi dan Nyoto yang baru nongol.
Luphi juga mendapat julukan baru di sekolah. Ia kini tidak lagi dipanggil si muka koreng, tapi dipanggil si mumi, karena perban di wajah dan sebagian tubuhnya yang masih belum dilepas. Harusnya beberapa hari lalu perban-perban itu sudah bisa dibuka, tapi Luphi tidak mau. Ia suka dengan perbannya. Perban itu membuat luka bakar di wajah dan tangannya tidak terlihat.
“Gimana, sudah ada kabar dari Meliana?” tanya Nyoto.
“Iya, katanya skripsi yang dia ketik udah kelar. Gue udah nggak sabar mau liat…” tambah Didi.
Luphi menggeleng, “Belum ada kabar… Lagipula, Meli sudah berapa hari ini nggak masuk sekolah, kan?”
“Udah coba telepon rumahnya?” tanya Kalea.
“Sudah ditelepon, katanya Meliana lagi nggak ada di rumah…”
“Aneh, masa berlibur tapi nggak minta ijin guru?” gumam Kalea.
Dari arah gerbang sekolah tiba-tiba muncul 4 orang polisi. Pak Kepala Sekolah menemani para polisi itu dengan wajah tegang.
“Selamat siang, Pak,” sapa Kalea.
“Ah, selamat siang…” balas pak kepala sekolah. “Ah, sebentar… Kalian temannya Meliana kan? Anak dari kelas 11A…”
Mereka berempat mengangguk.
“Apa kalian tahu sekarang dia ada di mana?”
“Wah, Pak, kebetulan kita juga lagi nyari si Meliana,” jawab Nyoto, “Tapi belum ketemu.”
“Iya, emang ada apa Pak?” tanya Didi.
“Tidak, tidak ada apa-apa…” jawab salah satu petugas polisi sambil tersenyum.
“Mari Pak, sebaiknya hal ini kita diskusikan di kantor, jangan di depan anak-anak,” ajak polisi yang lain sambil mempersilahkan Pak Kepala Sekolah untuk jalan kembali.
“Aneh…” gumam Didi setelah para petugas dan pak kepala sekolah pergi.
“Iya, rasanya ada yang tidak beres…” kata Kalea.
Luphi di sebelah manggut-manggut.
“Iya, masa polisi dompetnya warna pink…” ujar Nyoto sambil menimang-nimang sebuah dompet di tangannya.
“LHO, NYOT!” teriak Luphi sambil menunjuk tangan Nyoto, “ DOMPET SIAPA ITU?!”
Nyoto tiba-tiba tersadar, “WADUH, MATI AKU!”
“NYOTO KAMPRET!”
“NYOPET KOK DARI POLISI!”
“WADUH, AKU NGGAK SADAR NGAMBILNYA!”
Mereka berempat lalu lari menyusul pak polisi.
“DOMPETNYA JATUH PAK!”
* * *
Pada Sabtu pagi, keesokan harinya, di depan gang sempit tempat jalan masuk ke markas Sisir Ijo, Luphi dan Didi berjalan mondar mandir menunggu seseorang. Mereka membawa sekotak kue tart coklat dan sekerat minuman soda. Mereka ingin menyerahkan bingkisan itu pada teman-teman di Sisir Ijo, sebagai ungkapan terimakasih karena telah membantu menyelesaikan skripsi mereka.
“Si Nyoto masih belum nyampe?”
“Belum. Padahal kata Maminya dia udah berangkat dari tadi pagi.”
“Waduh, cacing itu nyangkut di mana yah?”
“Tapi kalau kita nunggu lebih lama lagi, nanti keburu siang, nanti kakak-kakak Sisir Ijo keburu pergi semua…”
“Apa kita masuk duluan? Nggak usah nunggu si Nyoto?”
“Hayuk deh.”
Luphi dan Didi masuk ke gang pemukiman yang merupakan pintu masuk markas Sisir Ijo. Suasana sepanjang gang terasa berbeda dibanding hari-hari sebelumnya. Hari ini suasana gang tampak sepi, para penghuninya tidak ada yang keluar rumah, dan tidak ada satupun anggota Sisir Ijo yang mereka temui sepanjang jalan.
“Sepi banget ya, Di…”
“Iya Luph…”
MEOOONG!!! Tiba-tiba seekor kucing menjerit memecah kesunyian. Luphi dan Didi melompat ke samping, kaget setengah mati.
“Waduh, kucing gila… bikin jantungan ajah!” umpat Luphi.
“Sori Luph, barusan gue yang nggak sengaja nginjek buntutnya…” kata Didi.
“Ais, kamu iseng banget sih, Di, buntut kucing kok diinjek! Hampir ajah saya lompat masuk ke got, tau…”
“Yah, namanya juga nggak sengaja…”
Tiba-tiba terdengar suara dari arah belakang. “Anu… Mas, tolong dong. Tolong bantuin aku naik dong…” Luphi dan Didi menoleh. Ternyata Mas Ujang, salah satu senior di Sisir Ijo, sudah kecebur got karena kaget.
“Wah, Mas Ujang… yang lain pada ke mana? Kok sepi banget?” tanya Didi, setelah membantu menarik Ujang keluar dari got.
“Sepi? Hehehehe, ya memang. Sisir Ijo kan sudah bubar sejak beberapa hari yang lalu…” jawab Ujang sambil membersihkan celananya yang kini basah dan jorok.
Luphi dan Didi kaget. “Lho, bubar?”
Ujang mengangguk, “Iya, sudah bubar. Tepatnya, sejak 2 hari setelah peristiwa kebakaran itu. Aku juga ke sini cuma buat ngambil barang-barang yang ketinggalan aja kok.”
“Kenapa bisa bubar, mas?” tanya Luphi.
Ujang menepok Luphi, “Ya karena omongan kamu…”
“Karena omongan saya?” Luphi tidak mengerti.
“Iya, gara-gara omongan kamu tentang kehidupan yang lebih baik dari preman, yang sambil nunjuk-nunjuk ke gang ini…” ujar Ujang sambil menunjuk ke gang di belakangnya.
Luphi terkesima, tidak menyangka bahwa ucapannya akan berdampak demikian.
“Lah, terus… sekarang Mas Ujang kerja jadi apa?” tanya Didi.
Si Ujang membusungkan dada. “Sekarang aku udah jadi petugas pemadam kebakaran. Hehehe. Gara-gara kemarin di markas Kapak Merah ikutan madamin api, ternyata ketua pemadam kebakarannya terkesan sama aku dan si Bayu. Jadinya kami berdua disuruh daftar di tempat mereka. Dan kami diterima.”
“Lalu yang lain?” tanya Luphi.
“Si Fadil sekarang jadi sopir bajay, padahal dia cita-citanya jadi tukang becak. Yah, tapi apa boleh buat, katanya nanti kalau sudah punya uang, dia bakal beli becak sendiri… Lalu si Simon jadi badut di Dufan… si Bimo jadi sopir bus kota, si Nancy bencong jadi kernetnya. Lalu si Romi jadi buruh bangunan… Lalu…”
Luphi dan Didi mendengarkan Ujang bercerita tentang profesi baru teman-teman mereka. Banyak yang sudah mendapatkan pekerjaan yang halal, tapi tidak sedikit juga yang masih jadi pengangguran. Ujang juga bercerita tentang bagaimana perubahan itu membuat beban hidup mereka menjadi semakin berat, namun beban hati menjadi semakin ringan.
“… jadi seperti akhir cerita di film-film, kami semua seperti mendapat kesempatan kedua untuk memulai hidup baru. Yah, kurang lebih begitu…” kata Ujang menutup ceritanya.
“Woow…” gumam Didi, takjub. “Kok kak Panda dan kak Koala di sekolah nggak pernah cerita yah?”
Luphi mengerenyit, “Lalu, bagaimana dengan si Bang Toyip dan Bang Japri?”
Ketika mendengar nama mereka berdua, wajah Ujang terlihat sedih. “Kalau mereka berdua… masih tetep jadi preman kok… masih tetap jadi Sisir Ijo.”
“Jadi, di markas sekarang hanya tinggal mereka berdua?”
Ujang mengangguk.
“Walah, jadi makanan ini gimana Luph? Apa tetap kita kirim buat Bang Toyip dan Bang Japri ajah?”
“Jangan!” cegah si Ujang. “Kalian jangan pergi ke markas…”
“Lho, kenapa?”
“Soalnya, kan gara-gara kalian, makanya Sisir Ijo jadi bubar, jadi anggotanya pada keluar semua. Coba bayangin. Bang Toyip lagi keluar kota, tiba-tiba waktu balik, semua anggotanya minta keluar gara-gara ngikutin nasehat kalian. Coba tebak bagaimana perasaan si Bang Toyip ke kalian sekarang…”
“Wah, pasti ngamuk berat tuh…” celetuk Didi.
“AH, lalu… si Mbak Mikha? Mbak Mikha bagaimana?” tanya Luphi.
Si Ujang berdehem, “Si Mikha yah… Hm… Gimana yah jelasinnya…” Ujang mendesah panjang, lalu menatap langit dengan mimik wajah misterius. “Dia…”
“Dia?” Luphi tampak cemas.
“Dia kalau sore jadi kernet angkot… Bantuin bapaknya…”
“Kalau sore jadi kernet angkot?” Luphi mulai khawatir. “Emangnya kalau siang jadi apa?”
“Kalau siang? Ya sekolah dong. Dia kan masih SMP, udah mau ujian kelulusan buat masuk SMA…”