Suasana restoran McDonald yang terletak di wahana Rama dan Shinta penuh sesak. Matahari memang sudah tepat berada di atas kepala, sudah waktunya untuk makan siang. Di bangku dekat pintu kaca restoran, tampak sesosok wanita yang cantik luar biasa, dengan matanya yang biru terang, pipinya yang berwarna pink bagai buah peach, rambutnya yang berombak dan bersinar emas, serta bibirnya yang merah merekah.
Duduk di tengah para pengunjung restoran yang padat membuatnya terlihat seperti seekor kupu-kupu cantik yang berada di tengah gerombolan kecoa.
Chaterine kembali memandang jam tangannya yang berlapis emas. Dia tampak bosan menunggu seseorang yang sudah meninggalkannya terlalu lama. “AduuuUuuuuUUuuuuh... Thomas lama amat sih. Pergi ke toilet kok sampai setengah jam...” ujarnya sebal.
“Hey, kamu sudah menunggu saya selama 2 tahun, tidak masalah kan kalau cuma ditambah setengah jam lagi?”
“AH... HONEY!!! Akhirnya lo balik juga!!!”
Thomas tersenyum. Chaterine langsung menghambur dan memeluk Thomas erat-erat.
“Ow... I'm soooo miss you...” ujarnya sambil terus-terusan menciumi pipi Thomas.
“Yeah, the toilet’s full. So…” Thomas mengeluarkan senyumnya yang menggoda, “…sorry for being so late...”
“Awww...” Chaterine menunduk malu, menyembunyikan pipinya yang memerah seperti buah tomat. Hanya Thomas satu-satunya orang di dunia ini yang bisa membuatnya tertunduk malu dan sekaligus merasa berdebar-debar.
“Dah makan siang?” tanya Thomas dengan lembut.
“Awww.... gue kan nggak mungkin pesen duluan, pasti gue nunggu elo dulu dong...” sahut Chaterine manja. “Gue kan cewek yang setia…”
“Wah, tumben kamu baik banget. Jangan-jangan lagi ada maunya ya?”
Chaterine kembali memeluk Thomas, “Iya nih, untung lo cepet-cepet pulang, soalnya gue lagi skripsi... gue butuh bantuan lo nih...”
“Ah, iya. Nggak terasa sudah 2 tahun berlalu. Nggak terasa sudah waktunya kamu skripsi...”
Chaterine kembali tersenyum manja.
Sementara itu, di bagian belakang gedung restoran, di tempat yang tertutup pepohonan, Nyoto dijongkrokkan dengan kasar ke atas batu oleh si Brewok dan si Codet.
“Tunggu di situ! Dan jangan berani bersuara, kalau nggak mau hukuman kamu saya percepat!” ancam si Mata Satu. “Si Boss muda mau makan siang dulu sama ceweknya… Jadi kita semua musti sabar nunggu…”
Nyoto terbaring lemah di atas sebuah batu kali besar. Wajahnya babak belur. Baju maskotnya memerah oleh bercak darah. Ia baru saja dipukuli, dan kini sedang menunggu hukuman lanjutan dari Thomas.
Hukuman yang sangat mengerikan.
“Tapi, apa anak ini perlu dihabisi dengan cara yang ekstrim begitu, seperti yang diperintahkan Boss muda?” tanya Brewok. “Apa nggak sebaiknya ditusuk saja, lalu dibuang ke got?”
“Maksud kamu… hukuman dengan dilempar dari atas wahana Bianglala[1] itu?” Si Mata Satu memandang ke kincir raksasa yang berputar pelan, berdiri megah di tengah areal Dunia Fantasi. “Kalau menurut Boss muda, semakin heboh matinya, semakin banyak yang lihat, semakin bagus... Agar musuh-musuh kita mengerti, bahwa jangan pernah berani coba-coba mengganggu si Pistol Perak.”
Si Brewok dan si Codet memandang Nyoto dengan kasihan. Meskipun mereka bermusuhan, tapi dibunuh dengan mengerikan seperti itu, tampaknya juga agak keterlaluan. Bagaimanapun juga, anak ini masih terlalu muda, masih belum puber malahan.
“Rapikan baju badutnya, pasang topengnya, jangan sampai luka memarnya kelihatan. Lalu sumpal mulutnya. Kalau dibawa ke atas Bianglala sewaktu jadi badut, maka tidak ada orang yang curiga...” perintah si Mata Satu. “Sepuluh menit lagi, bawa dia ke atas. Kalau Boss muda sudah selesai makan, baru kita lempar dia ke bawah…”
Nyoto memandang langit biru yang terbentang luas di atasnya. Kepalanya masih terasa sakit, namun ia sudah tidak perduli lagi. Matanya bergerak nanar, mengikuti gerak pelan riak awan putih di atas sana
Apakah benar di balik awan itu ada malaikat yang mengawasi kita?
Apakah benar di balik langit biru itu ada surga?
Air mata mengalir lagi di pipinya.
Apakah benar hidupnya cuma sampai di sini?
* * *
Hari semakin siang, dan matahari sudah lewat sedikit dari atas kepala.
Luphi akhirnya tiba di Dunia Fantasy bersama Mikha, Didi, Bang Japri, dan Bang Jarot. Mereka berlima datang dengan mengendarai angkot milik Pak Doel. Sementara Ujang dan Bang Toyip saat ini sedang berusaha mengumpulkan teman-teman Sisir Ijo yang lain, dan akan menyusul mereka secepatnya.
“Ok, jadi gue sekarang akan nyopet duit dari orang-orang yang ngantri di loket, biar kite bisa punya ongkos buat masuk ke dalem…” kata Bang Jarot. Bang Jarot adalah preman yang cukup senior di Sisir Ijo. Dahulu sekali, sekitar 15 tahun yang lalu, Bang Jarot adalah tukang copet paling terkenal di daerah selatan Jakarta. Saking terkenalnya, sampai membuatnya tidak bisa mencopet lagi... karena semua sudah kenal dia.
“Betul, Jarot. Keluarin keahlian elo di sini,“ Bang Japri mengangguk setuju.
“Lho, jangan Bang, jangan nyopet lagi. Kan katanya sudah insaf…” kata Luphi. “Sekali Abang memutuskan untuk berhenti nyopet, ya harus betulan berhenti.”
“Lha, kalau nggak nyopet, terus gimana cara kita masuk ke dalem?” tanya Bang Japri.
“Iya, harga tiket masuk Dufan itu mahal lhoo…” tambah Bang Jarot.
“Tidak. Luphi benar. Kalau kita mau jadi orang bersih, ya harus bersih tanpa kecuali,” kata Mikha. Ia lalu memandang Didi, “Hoi, ayo cepet beli’in kita tiket masuk!”
Si Didi protes, “Jadi copet udah ga boleh. Tapi tukang palak masih boleh?”
Mikha mendelik.
Didi langsung ngibrit ke loket tiket. Tak seberapa lama, ia lalu kembali dengan 3 lembar tiket di tangan.
Bang Japri mengerenyit, “Lho, kok elo cuma beli 3 tiket doang? Kan kita berlima?”
“Duit gue emang cuma sanggup buat beli 3 tiket doang, Bang…” jawab Didi, manyun. “Padahal ini duit tabungan buat beli handphone baru…”
“Kalau begitu, gue, Luphi, dan Bang Jarot yang masuk ke dalem,” kata Mikha.
“Ok, gue dan si bongsor ini yang akan tunggu anak-anak Sisir Ijo lain dan Pak Doel di sini,” ujar Bang Japri sambil mengedipkan mata ke Didi.
“Lah, kenapa malah Bang Jarot yang ikut masuk ke dalem? Kenapa bukan gue? Gue di sini buat apaan?” tanya Didi.
“Buat bayarin tiket yang lain…” jawab Mikha, langsung membuat bibir Didi jadi manyun lagi.
* * *
Pengunjung area Dunia Fantasy hari ini sangat membludak. Di sana-sini tampak banyak orang berjalan dan mengantri. Udara Jakarta yang panas, jadi terasa lebih menyengat dalam lautan manusia ini.
“Aduh... kalau nyopet, bisa panen besar nih...” bisik Bang Jarot. Insting copetnya muncul lagi setelah 15 tahun tertidur.
“Sttt... lihat...” panggil Mikha. Tiba-tiba wajahnya tampak tegang.
Luphi menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu mendekati Mikha.
“Ada apa Mbak?”
“Coba lo liat tuh...” Mikha menunjuk ke beberapa arah menggunakan dagunya. Luphi dan Bang Jarot melirik ke arah yang ditunjuk Mikha.
“Astaga, itu kan si Palu Hitam...” Bang Jarot mengerenyit, “Ngapain mereka pada ngumpul di sini. Apa lagi ada acara wisata kelompok preman?”
“Eh, nggak cuma mereka doang, Bang. Lihat, itu ada kelompok Gergaji Ungu dan Celurit Coklat...” kata Luphi.
“Gulali Hijau, Permen Kuning, Es Krim Oranye, Kerupuk Hitam, dan Cendol Abu-Abu... Mereka semua preman level B, C dan D yang ada dibawah kendali Pistol Perak…” bisik Mikha, “Berarti kita berada di tempat yang tepat.”
“Ini gawat. Gue mau kasih tau anak-anak yang lain, bahaya kalau kita cuma bertiga…” ujar Bang Jarot, ”Mikha, elo dan si Luphi musti tunggu gue di sini, jangan bertindak gegabah. Tunggu anak-anak dateng dulu...”
Mikha mengangguk.
Bang Jarot lalu pergi untuk menghubungi teman-teman yang lain. Kini tinggal Luphi dan Mikha berdua di tengah lautan manusia, sambil memandangi sekitar mereka dengan was-was.
“Kita musti gimana Mbak?”