Suasana di areal sekitar wahana Bianglala heboh. Ribuan pengunjung Dufan dengan pandangan ngeri saling berteriak bersamaan.
“NYOTO!!!”
Mikha menatap ke bawah, hatinya nyelecos, jantungnya bagai copot dari tempatnya.
Topeng kodok milik Nyoto hancur berantakan di lantai.
Para petugas keamanan memandang topeng itu dengan tegang, lalu sedetik kemudian kembali memanjat dengan cepat ke atas, menuju tempat Luphi yang kini bergelantung sambil memegangi tangan Nyoto.
“UARRGH! KAMPRET!....” Wajah Luphi memerah, urat di leher dan tangannya menonjol keluar.
Nyoto yang bergelantung di tangan Luphi tampak takjub. Ia tidak percaya bahwa sahabatnya itu berhasil menangkap tangannya.
“Luphi... makasih kamu udah nangkep aku...” kata Nyoto, tanpa sadar air matanya mulai meleleh.
“Ugh... makasihnya nanti saja Nyot, kita masih ngegantung di tengah nih...” sahut Luphi sambil mengumpulkan tenaga, berusaha menarik Nyoto ke atas, namun gagal. Tubuhnya memang tidak terlalu kuat sejak lahir. Tenaganya yang tadi sempat muncul sesaat ketika menangkap lengan Nyoto, rupanya tak lebih dari insting bertahan hidup seorang manusia yang memang muncul secara luar biasa pada saat-saat demikian.
“Nyot... tangan satunya kesiniin... ugh...”
Nyoto menatap tangan kanannya yang tergolek lemas di samping tubuhnya. Tangan itu luka parah, sudah hancur berantakan. Di sepanjang lengan sampai pergelangan tangan, tampak beberapa luka menganga yang sangat mengerikan. Sesaat tadi ketika meluncur ke bawah, tubuh Nyoto sempat membentur konstruksi baja, membuat ikatan tangannya terlepas, namun sekaligus membuat tangan kanannya robek dan patah tulang di beberapa bagian.
“Tangan aku udah melempem nih, Luph... aduuuh...”
“Tangan saya juga udah ga kuat lagi, Nyot... ugh… Ayo, coba kamu naikkan tangan kamu… Usahain pegang besi itu…”
Telapak tangan Luphi berkeringat. Pegangannya semakin lama terasa semakin licin.
“Ayo naik Nyot...” ujar Luphi dengan susah payah. Giginya bergemeletuk karena menahan beban berat.
“Luph... aku udah ga sanggup lagi... Luph..”
“AYO NYOT...” Luphi sekali lagi mengerahkan tenaganya, tapi tetap tidak bisa menarik tubuh Nyoto ke atas. Perutnya yang bersangga di atas konstruksi baja, kini merasa sakit luar biasa.
“Uuugh... aduuuh...”
“Udah Lup... Udah...”
“NYOT...”
“Lepasin, Luph.”
“AYO NYOT, JANGAN MENYERAH!!!”
“Jangan sampe kamu juga ikutan jatoh gara-gara nahan badan aku...”
“UGH!!!”
“Udah deh... udah cukup...”
“NYOTO… ugh… JANGAN!!!”
“Terimakasih… karena selama ini… kamu sudah mau jadi teman aku…”
Nyoto lalu melepaskan genggaman tangannya.
Nafas Luphi langsung berhenti.
Matanya terbelalak, jantungnya copot.
Nyoto meluncur ke bawah sambil tersenyum.
“NYOTOOOOOO!!!”
“AAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!”
Para penonton kembali berteriak histeris.
“PEGANGIN!!!”
“HAP!!!”
“KENA... KENA...”
“AWAS, JANGAN SAMPAI JATUH...”
“HATI-HATI TANGANNYA...”
Sekitar lima meter di bawah tempat Luphi berada, beberapa petugas keamanan yang sudah memanjat sampai setengah jalan, berhasil menangkap Nyoto.
Luphi yang selama beberapa detik tidak bisa bernafas, langsung mendesah panjang. Dadanya yang tadi sesak bagai dihimpit batu, kini terasa ringan luar biasa.
“AH, dasar Nyoto kampret!!!” teriaknya marah.
Luphi lalu membetulkan posisinya, tiduran di atas baja konstruksi, lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Air matanya tidak mau berhenti mengalir. Ia lalu menangis sejadi-jadinya. Tangisan dengan perasaan lega luar biasa.
Mikha di gondola atas ikut lemas menyaksikan perjuangan Luphi. Hatinya kini lega bukan kepalang. “Terimakasih Tuhan...” ucapnya, lalu ia ikut menangis.
Para penumpang gondola nomer 22 yang sedari tadi terdiam, tiba-tiba mulai bertepuk tangan.
Suasana tegang yang sebelumnya menghinggapi seluruh penonton, kini hilang entah ke mana. Ribuan orang yang berkumpul di bawah ikut bertepuk tangan, dan semakin lama terdengar semakin meriah. Mereka bersorak sorai memberikan salut dan selamat atas kegigihan para petugas yang berhasil menyelamatkan Nyoto.
Namun di antara ribuan orang yang bersuka cita, ada satu orang merasa kecewa. “Dasar orang bodoh. Hanya melakukan satu tugas kecil saja bisa gagal… Betul-betul bodoh…” Thomas meremas kepalan tangannya dengan kesal, sambil menatap Nyoto yang kini diturunkan oleh para petugas dengan hati-hati.
“Ayo kita pergi...” ajaknya sambil menarik lengan Chaterine.
“Tunggu say... tunggu...”
“Kamu mau apa lagi sih?!” ujarnya dengan tidak senang.
“Tunggu sebentar. Orang itu... gue kenal mereka. Tunggu sebentar yah...”
Chaterine menarik tangan Thomas untuk ikut mendekat, namun Thomas memberi tanda kalau dia tidak setuju.
“C'mon honey, they are my friends. Gue mau tahu apa yang baru saja terjadi di sini. Barusan itu adalah kejadian yang heboh banget... Ah, harusnya tadi gue foto yah, atau gue rekam... Duh, mana iPhone gue sih...”
“Ah, tapi honey...”
“Aw... please, please, please, pretty pleaseeeee...” rayu Chaterine, “Gue mau interview mereka sekarang juga, apalagi orang itu temen gue... Ntar gue mau masukin semuanya ke YouTube. Aw, ini pasti bakal bikin gue jadi terkenal deh...”
“Ya sudah, terserah kamu...” Thomas akhirnya menyerah, “Tapi kita tidak mendekat ke sana, kita tunggu sampai mereka yang datang ke sini.”
“YES, Thank you honey... Muach...”
Thomas setuju untuk bertemu dengan teman-teman Chaterine, tanpa sadar kalau merekalah yang sebenarnya telah membuat markas Kapak Merah hancur. Tanpa sadar kalau Mikha, teman Luphi, adalah orang yang telah mencarinya selama 2 tahun ini.
Situasi berkembang semakin tidak terduga!
“Chaterine, si reporter cantik melaporkan langsung dari tempat kejadian... AAAH, so sweet...” teriak Chaterine, girang.
* * *
Bianglala akhirnya kembali berputar. Para petugas mulai menurunkan satu persatu penumpang dari gondolanya.
Ketika gondola nomer 23 mendarat, Codet dan Brewok langsung dibekuk oleh para petugas keamanan. Dengan ratusan pengunjung Bianglala sebagai saksi mata, sangat mudah untuk memutuskan kalau mereka berdua yang bertanggung jawab atas segala kejadian ini.
Nyoto dibawa pergi oleh petugas medis menuju ke rumah sakit terdekat.
Sementara Mikha dan Luphi dibawa oleh 4 orang petugas menuju ke kantor pengelola untuk mendapatkan perawatan medis sekaligus memberikan kesaksian lebih lanjut.
Di sepanjang jalan, mereka mendapatkan sambutan yang meriah dari para pengunjung.
Luphi yang belum pernah disoraki seperti ini, pipinya langsung memerah. Sakit di sekujur tubuhnya tidak terasa lagi, kalah oleh rasa grogi sekaligus senang yang kini hinggap di hatinya.
“Kalian hebat banget!” jerit salah satu pengunjung.
“Luar biasa! Hebat!” jerit pengunjung yang lain.
Luphi semakin menunduk malu.
“Kalian harus bangga. Sudah tidak ada lagi orang di jaman sekarang yang berani bertindak seperti kalian, rela berkorban demi menyelamatkan nyawa orang lain, “ ujar salah satu petugas yang mengawal mereka.
“Kalian sudah jadi pahlawan...” kata petugas yang lain.
Mikha dan Luphi tersenyum simpul.
Ketika mereka sudah dekat dengan kantor pengelola, tiba-tiba seorang gadis cantik muncul di hadapan mereka.
“LUPHI!!!”
“Lho, Mbak Chaterine?”
“Wah, lo tadi keren banget...” kata Chaterine sambil mengarahkan iPhonenya ke wajah Luphi, “Coba ceritain tadi kejadian detilnya kaya gimana. Gue rekam yah.”