Seluruh media massa dalam seminggu terakhir ini mendadak heboh. Mereka semua berbondong-bondong menyajikan berita paling menggemparkan tahun ini…
“Putra salah satu konglomerat nasional terlibat peristiwa kecelakaan 2 tahun lalu.”
“Perang antar geng meluluh lantakkan areal Dunia Fantasi!”
“Hukuman berat bagi kelompok penjahat Pistol Perak!”
“Konglomerat yang namanya dirahasiakan, menyatakan akan naik banding!”
“Remaja SMA yang diculik akhirnya ditemukan!”
“Polisi panen! Ratusan anggota preman ditangkap!”
“Sabtu kelabu bagi ribuan pengunjung tempat wisata Ancol…”
Lalu diantara beragam berita besar, ada satu berita kecil yang hampir tidak terlihat. “Seorang remaja hampir mati kehabisan darah dalam peristiwa kekacauan di Dunia Fantasi.”
“Wah, saya masuk koran!” pekik Luphi kesenengan.
Luphi kembali dirawat di rumah sakit milik orang tua Kalea. Sementara Nyoto dan Meliana yang mengalami cedera lebih berat, diletakkan di ruangan terpisah untuk mendapatkan perawatan spesial. Khusus untuk Nyoto, selain dirawat di ruang terpisah, ia juga diikat di ranjang, agar tidak mencuri celana dalam milik para suster.
“Tapi, apa yang terjadi dengan Mbak Mikha? Di mana dia sekarang?”
Semenjak ia terbangun setelah pingsan selama 2 hari di rumah sakit ini, ia belum sekalipun mendengar kabar mengenai Mikha dan mantan anggota Sisir Ijo yang lain.
Klek! Pintu kamar Luphi terbuka.
“Hai Luph,” sapa Didi. Ia masuk sambil membawa sekotak kue.
“Wah, Didi… tumben banget…” sahut Luphi girang.
Didi menuju ke kursi, lalu duduk dan membuka kotak kue yang dibawanya. Ada tart besar di dalam kotak itu, dengan toping buah strawberry dan hiasan coklat yang memikat.
Hap! Didi mulai makan sendiri. Hap! Hap! Dan tidak sampai semenit, kue itu sudah tinggal setengah.
Luphi melongo, “Lho, kirain itu oleh-oleh buat saya…”
“Nyam… Memang ini oleh-oleh buat elo, dari temen-temen dan kepala sekolah kita…” jawab Didi, sambil terus mengunyah.
Luphi sebal, namun ia akhirnya memilih untuk tidak perduli. Ia turun dari ranjang, mengambil tongkat bantu berjalannya, lalu dengan perlahan melangkah menuju jendela. Kakinya masih terasa sedikit nyeri dan perih, tapi gips besar yang menutup bekas luka tembak membuatnya tidak leluasa untuk memijat kakinya sendiri.
“Didi, kamu ada dengar kabar tentang teman-teman kita di Sisir Ijo nggak?” tanya Luphi.
Didi menoleh, “Kabar tentang Sisir Ijo? Nggak ada tuh. Mereka semua kayak ngilang begitu ajah. Nggak bisa dihubungi, dan waktu gue dateng ke markasnya juga udah nggak ada siapa-siapa lagi… Bahkan si Kak Panda dan Kak Koala juga sudah seminggu nggak masuk sekolah…”
“Terus… Kamu juga belum dapet kabar tentang Mbak Mikha?”
“Iya, si Mbak Mikha juga. Hilang nggak berbekas. Waktu gue telepon rumahnya, kata tetangganya, keluarga Pak Doel sudah pindah sejak beberapa hari lalu, tapi nggak jelas pindahnya ke mana…”
Luphi kembali menatap keluar jendela. Ia merenung. Segala sesuatu tentang Sisir Ijo kini bagaikan lenyap ditelan bumi, hilang tak berbekas, namun ia tahu kalau semua itu tidak mungkin terjadi begitu saja...
“Hei, Luph… lihat tuh!” Didi menunjuk ke arah televisi yang menampilkan seorang reporter wanita sedang mewawancarai seorang pria dalam balutan baju maskot Dunia Fantasi. “ITU GUE!” teriak Didi kegirangan.
Luphi berjalan mendekat dan ikut melihat ke arah televisi.
“Jadi, bagaimana caranya Anda menangkap pemimpin preman tadi?” tanya sang reporter wanita.
“HALO MA! HALO PAPA! DIDI MASUK TIVI NIH!!!”
“Ah, iya… Sekarang, tolong jawabannya?”
“MAMA, DIDI MASUK TIVI, DIDI BAKAL JADI ARTIS NIH!!!”
“Anu, maaf, tapi tentang jawaban pertanyaan saya tadi?”
“GUE BAKAL JADI TERKENAL!!! YUHUUUUU!!!”
Plip! Dan wawancara diputus begitu saja, diganti dengan berita selanjutnya.
“Gimana, gue keren kan?” tanya Didi sambil meringis bangga.
Luphi hanya mengangguk lemah, sambil menahan kentut karena pingin ketawa ngakak.
“Akhirnya gue masuk tivi juga… Hahaha. Mama gue bakal bikin pesta selametan deh,” kata Didi, tapi tiba-tiba mimik wajahnya langsung berubah, “Ah, tapi gue juga punya berita buruk, men…”