Selama ini, yang Ausya lakukan hanyalah bagaimana cara menjadi seorang anak yang berbakti, membanggakan dan menjadi sosok panutan bagi adiknya, Ghailan. Awalnya, semua baik-baik saja dan berjalan sesuai dengan apa yang Ausya harapkan. Dia yang selalu menjadi juara kelas, memenangkan lomba, mendapat beasiswa penuh untuk kuliah di Universitas ternama di Jakarta, Lulus dengan nilai terbaik, dapat pekerjaan, dan semua yang telah Ausya raih hingga detik ini.
Namun satu hal yang menutupi semua yang telah Ausya raih di mata ayahnya. Iya, sebuah pilihan Ausya untuk memilih pendamping hidupnya. Ayahnya seakan menutup mata ketika bertemu dengan Ausya, ayahnya yang seakan menutup telinga ketika Ausya berbicara. Semua itu yang menjadikan Ausya merindukan masa-masa dimana ia bisa memeluk tubuh ayahnya kapanpun dia mau, bagaimanapun kondisinya, Ausya hanya ingin itu.
Ditambah, saat mendengar penuturuan Ghailan tentang pendapatnya terhadap Ulrick. Ausya merasa di jungkir balikkan dengan kenyataan yang Ghailan ucapkan, tentang dia yang menganggap semua kebaikan yang tumbuh di agama manapun. Ausya merasa tertampar dua kali saat kembali mengulas kejadian-kejadian di tiga tahun terakhir ini. Bukan apa yang ia percayai yang salah, bukan pula apa yang Ulrick percayai yang salah.
Hanya saja anggapan yang hadir diantara kedua keluarga yang sangat bertolak belakang. Ausya paham apa yang ingin Ghailan sampaikan saat ia menyuruh Ausya untuk menerapakan makna presisi dalam kehidupannya. Disana, ada bentuk kekhawatiran adiknya tentang Ausya yang hendak menyalahkan sebuah kepercayaan yang telah ia anut dan telah ia bawa sejak dalam masa kandungan. lantas kenapa sekarang malah Ghailan yang terdengar lebih dewasa di banding dirinya?
"Sya." Panggil Ulrick untuk yang kesekian kalinya.
"Hah?" Ausya yang seakan ditarik tiba-tiba dari lamunannya langsung di hadapkan dengan Ulrick yang kebingungan atas sikapnya.
"Kamu kenapa?" Tanya Ulrick khawatir.
"Nggak kok... Eh, tadi tanya apa?" Ausya berusaha mengalihkan pembicaraannya.
"Ini, gula pasirnya jadi beli gak?"
"Jadi, stok di rumah juga udah abis." Ausya berusaha menampilkan deretan giginya yang malah terlihat di paksakan.
Ulrick lalu memasukkan gula pasir yang telah ia pilih kedalam troli. Dengan pikiran yang kembali menerka apa yang sedang Ausya pkirkan.
"Tadi ngobrolin apa sama Alan?" Tanya Ausya kepada Ulrick.
Ulrick sedikit mengingat-ngingat obrolan yang tadi dengan Ghailan. "Banyak. Tadi kita ngobrolin tentag konspirasi gitu." Ulrick terkekeh. "Kalau di lihat sekilas, dia anaknya kayak pendiam ya, Sya. Kayak kalau di tanya 'gimana kuliahnya?' Pasti cuma di jawab satu kalimat. Tapi kalau udah di tanya 'bumi itu bulat atau datar? Pasti deh jawabnya panjang lebar."
Ausya tertawa, selama dua puluh tahun menjadi kakak, Ausya terlalu khatam dengan karakter Ghailan. Dia yang menyukai penelitian-penelitian aneh, dia yang berpikir jauh, ya dan dia yang tumbuh begitu cepat.
"Apalagi kalau udah ngomongin palung mariana, UFO, wah... Udah pecah semua." Lagi, ucapan Ulrick membuat Ausya tergelak.
"Dulu pernah kan, Rick, heboh penemuan piring terbang dan segala hal yang membuat semua orang percaya. Dulu Alan umur lima tahun, heboh sendiri gara-gara pulang ngaji malem katanya lihat piring terbang." Ausya bercerita dengan semangat. "Aku yang udah SMP dan gak percaya gituan ngebantah dong, eh kita debat sampai akhirnya berantem cakar-cakaran."
Mereka tertawa beriringan. Rasanya Ausya melupakan sedikit bebannya detik itu pula. Ausya butuh ini, tertawa lepas hingga bahunya berguncang dan semua bebannya rontok.
Ulrick senang melihat Ausya bisa tertawa lepas seperti ini. Setidaknya ia harap perempuan itu bisa sekejap melupakan sikap ayahnya yang sampai mereka berpamitan untuk pulang pun tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Hati Ulrick seakan di cubit, tapi lagi dan lagi, ia harus memberikan waktu untuk ayah mertuanya bisa benar-benar menerimanya.
Walau sudah tiga tahun, ayah mertuanya selalu menghindar jika Ulrick dan Ausya mengunjungi kediaman mereka. Jika mereka berpapasanpun, ayahnya jarang sekali berbicara, selalu mengedarkan pandangan asalkan tidak bersitatap dengan Ausya maupun Ulrick. Ulrick tahu bahwa itu bukan bentuk dari kebencian, hanya mungkin ayah Ausya masih belum berdamai dengan hatinya.
Disampingnya, Ausya masih bercerita tentang masa kecilnya yang kebanyakan di penuhi dengan perdebatan dengan Ghailan yang tentunya di tanggapi oleh Ulrick. lelaki itu bukannya tak paham dengan kerinduan yang Ausya rasakan untuk keluarganya, Ulrick paham sekali.
"Ini apa lagi yang kurang, Sya?" Tanya Ulrick memastikan.
Ausya melihat isi troli yang sudah di isi segunung belanjaan mereka. "Udah deh kayak nya, Rick." Jawab Ausya.
"Ya udah aku ke kasir kamu tunggu di restoran ya. Aku pesen yang biasa. " Ulrick mendorong troli menuju kasir sedangkan Ausya menuju restoran yang masih satu gedung dengan tempat ia berbelanja kebutuhan bulanannya.
***
Rivi, sahabat Ausya dengan tiba-tiba menelpon Ausya dan meminta perempuan itu untuk segera ke apartemennya. Padahal hari ini Ausya berencana untuk memanjakan dirinya dengan tidak melakukan apapun setelah hari kemarin ia membereskan rumahnya gila-gilaan. Namun, Rivi dengan tidak tahu dirinya meminta agar ia bergegas ke apartemennya.
Dengan setengah hati Ausya meng iya kan permintaan Rivi. Ia lalu mengganti pakaiannya dan sedikit mengulaskan makeup pada wajahnya. Hampir saja Ausya lupa untuk mengabari Ulrick, tak perlu repot untuk menemukan nomor lelaki itu, pasalnya hanya nomor itu yang selalu ia hubungi selain Rivi dan Ghailan.
"Rick." Panggil Ausya saat terdengar suara Ulrick dari seberang.
"Kenapa Sya?" Tanya Ulrick.
"Ini, aku izin ke apartemen Rivi ya. Tadi tiba-tiba telpon minta aku kesana, takutnya ada yang penting." Jelas Ausya.