Hari itu, cuaca panas adalah rekor terbaru untuk Ausya, hari terpanas yang pernah ia lalu. Membuat Ausya yang mempunyai alergi panas sudah tidak berhenti diam seperti cacing kepanasan. Ruam-ruam di tubuhnya semakin banyak dan memerah akibat garukan kuku Ausya yang panjang. Salah banget memang, punya alergi panas di Jakarta. Ausya berusaha mendinginkan tubuhnya menggunakan kipas dari kertas yang temannya buat. Merasa capek sendiri, Ausya menggeram.
"Nggri, gak mempan tau kipas lo." Ausya sedikit merengek saat punggungnya sudah terasa sangat gatal.
"Perlu gue buat yang lebih gede?" Tanya Inggri yang sudah terbiasa dengan Ausya dan alerginya.
"Harusnya lo tinggal di kutub, Sya. So-soan di Jakarta sih." Saga yang tengah duduk di atas meja melirik Ausya.
Ausya mendelik, lalu melihat Saga yang malah membuka satu persatu kancing kemejanya. Sial! kalau saja Ausya laki-laki, mungkin sudah dari tadi ia melakukan hal yang sama seperti Saga. Idrus yang melihat kelakuan Saga pun ikut melakukan hal yang sama, laki-laki kurus itu mengangkat kaosnya hingga dada.
"Ayok, Sya. Adem tau." Ucap Saga menantang Ausya lalu tertawa terbahak berasamaan dengan yang lainnya, termasuk Inggri.
"Lo kok ketawa sih, Nggri?" Ausya mengerucutkan bibirnya.
"Sorry, Sya. Gue gak nahan lihat tulang rusuk Idrus. Tajem bener." Jawab Inggri di tengah-tengah tawanya.
"Tempat ngadem dimana sih Ga? Gak tahan gue." Ausya menarik lengan kemeja panjangnya hingga siku, lalu mengipas-ngipas wajahnya menggunakan tangan.
"Biasa gue ngadem di WC," Jawab Saga. "Tapi bukan WC cewek ya, Sya. Sama aja bohong kalau gitu mah."
"Lha, terus dimana?"
"WC cowok, yang belakang onoh. Adem banget, Sya. Pokoknya Masyaallah banget deh." Ucap Idrus sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, mengkhayal kalau dirinya berada di sana.
"Anter yuk." Ajak Ausya kepada Inggri.
"Males ah, jauh." Inggri malah melipat tangannya di atas meja, lalu menempelkan kepalanya.