Sheana hendak protes, tapi Ellan sudah duduk di seberangnya. Menyilangkan kaki dan menyender santai, seperti ini bukan pertama kalinya ia duduk di hadapan wanita yang jauh lebih dewasa darinya.
“First time?” suaranya dalam, serak, dan ... terlalu intim untuk orang yang baru dikenal.
Sheana mengangkat alis. “What makes you think so?”
“Karena cuma orang yang pertama kali datang ke tempat ini yang kelihatan segugup kamu.” Ia tersenyum, manis dan sedikit nakal. “Kecuali kamu memang suka berpura-pura nggak tahu cara bersenang-senang.”
“Dan kamu senang menebak-nebak orang?”
“Kadang. Tapi lebih sering ... nebaknya tepat.”
“Sounds like a dangerous habit.”
“Cuma kalau kamu takut ketahuan.”
“Dan kamu pikir aku takut?”
Ellan tertawa singkat. “Grace bilang, kamu bukan tipe yang suka tempat berisik seperti ini,” ucapnya. Suara itu berat, berlapis senyum tipis yang menyebalkan—tapi justru itu yang membuat siapapun sulit untuk berpaling darinya.
Sheana menoleh, menahan ekspresi. “Grace seharusnya juga bilang kalau aku sedang bosan.”
Ellan tertawa pelan. “Bosan bisa sangat berbahaya kalau ditangani dengan cara yang salah.”
Sheana memiringkan kepala. “Kamu kerja di sini?”
Ellan tertawa kecil. “Nggak. Tapi kadang aku disewa untuk menemani klien tertentu. Jadi, yeah ... semacam freelance.”
“Freelance,” Sheana mencibir. “Gigolo, maksudnya?”
Ellan tersenyum, tidak tersinggung. “I prefer ‘companion’. Tapi kalau itu adalah istilah yang nyaman kamu pake ... gapapa.”
“Dan kamu bisa ‘dianggap nyata’ dengan semua ini?” Sheana mengisyaratkan ke lounge.
“Kalo kamu yang nanya, yes. Karena dari tadi mata kamu nyari alasan buat pulang, tapi kakinya nggak gerak.
Sheana terkekeh pelan. “Pede banget.”
“Nope. I’m full of curiosity. Tentang perempuan cantik yang duduk di sini dengan gaun mahal, tapi matanya ... kosong.”
Sheana diam.
Ellan melanjutkan, lebih lembut. “What broke you?”