Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #12

Hanya Ingin Ada

Ellan merasa ada semacam sakit di dadanya. Kenapa ia merasa seperti ini? Bukankah dia seharusnya merasa baik-baik saja? Sheana sudah menikah, itu adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri.

Tapi kenapa ia tak bisa melepaskannya?

Matanya terpaku pada pasangan itu, meskipun mereka sudah berjalan melewatinya. Hatinya seperti terhimpit—sesuatu yang sangat ia coba hindari, namun tidak bisa ditahan.

“Ellan.”

Suara Alvino memecah lamunannya. Ia menoleh ke arah ayahnya, yang kini berdiri di samping meja. Ekspresi Alvino tidak berubah, tapi ada kejelasan di matanya.

“Aku melihatmu. Barusan.”

Ellan mengerutkan kening. “What are you talking about, Dad?”

“Kamu ngeliatin mereka,” jawab Alvino dengan tenang, meskipun ada nada peringatan dalam suaranya. “Ngeliatin dia. Jangan coba-coba ngelak.”

Ellan mengalihkan pandangan. Ia merasa seperti tertangkap basah, meski sebenarnya ia tidak melakukan apa-apa yang bisa dikatakan salah.

“Dad, ini nggak kayak yang Daddy pikir,” jawabnya perlahan.

Alvino menyandarkan tubuhnya ke meja, menatap putranya dengan serius. “Kamu tahu kan, artinya melanggar batas?”

Ellan mengangguk. “Yeah, I know.”

“Terus kenapa kamu lakuin?” tanya Alvino, nada suaranya sedikit meningkat.

“Aku nggak ngelakuin apa-apa,” jawab Ellan, merasa frustrasi. “I’m just… observing.”

Observing,” ulang Alvino dengan nada sinis. “Bukan itu yang aku lihat dari sini.”

Ellan menghela napas dan berdiri dari kursinya. “Aku cuma lagi coba nyari tahu, Dad. Serius, ini nggak kayak yang Daddy pikir.”

“Tapi jangan biarkan itu menghancurkanmu, Ellan,” kata Alvino, suara penuh ketegasan. “Kamu nggak mau masuk ke jalan itu. Trust me.”

Ellan terdiam. Pandangannya tak fokus, seperti sedang menimbang sesuatu yang terlalu rumit untuk dipecahkan. Ada pergolakan yang tak bisa ia redam, walau ia tahu apa yang dikatakan Alvino benar adanya.

“Aku tahu ini salah,” gumamnya akhirnya. “Tapi kadang, rasa itu datang tanpa permisi. Tanpa aba-aba.”

Alvino menatap putranya lama, lalu berkata lirih namun tajam, “Rasa itu bisa datang kapan saja. Tapi keputusan untuk tunduk padanya, itu pilihan. Dan setiap pilihan ada harga yang harus dibayar.”

Ellan mendesah, jemarinya menggenggam sisi meja kayu tua yang dingin. “You don’t get it, Dad. Dia nggak bahagia. Dirga treats her like... like a trophy wife. Nggak ada rasa, nggak ada ruang buat dia jadi dirinya sendiri.”

Alvino menajamkan pandangannya. “Dan itu jadi urusanmu?”

It’s not just about her. Tapi soal gimana rasanya waktu aku bareng dia. It feels… real. It feels right.”

Lihat selengkapnya