Ellan tak menatapnya. Ia hanya memainkan ujung tissue yang terlipat rapi di atas meja. “Aku tahu kamu butuh ruang buat bernapas. Jadi, kalau kamu pengen diem dulu, aku bisa diem nemenin. Kalau kamu pengen ngobrol, aku bisa pura-pura jadi stranger yang baru pertama kali ketemu kamu.”
Sheana memejamkan mata sejenak. Ketulusan Ellan itu justru lebih menyentuh daripada sekadar kalimat “kamu kenapa?”
Lalu, pelan-pelan ia berkata, “Aku cuma lagi... kehabisan daya. Udah nyoba jaga semuanya tetap kelihatan oke, tapi ya gitu deh. Capek juga pura-pura terus.”
Ellan mengangguk pelan. Kali ini ia menatap Sheana langsung, dengan mata yang tak menghakimi, hanya menunggu—seolah ingin bilang ‘nggak papa kalau kamu hancur, aku nggak akan pergi’.
Lalu, dengan gaya jenakanya, ia membungkuk sekali lagi. “Tante, perlu aku temani? Belakangan ini usahaku sepi. Orderan klien makin kurang. Gimana dong?”
Dan saat itulah, ekspresi Sheana mulai berubah. Tangisnya belum betul-betul hilang, tapi tawa sudah mulai mengetuk pintu.
Sheana mendengus, berusaha menahan senyum. “Tante? Kamu barusan manggil aku Tante lagi, Ellan?”
“Maaf ya, Tante Sheana,” kata Ellan, menekankan nama itu sambil pasang wajah sok sopan. “Soalnya kamu cantik banget pas lagi marah—eh, maksudku... pas lagi bengong sendirian. Jadi, refleks.”
Sheana mengangkat alis. “Kamu mau bilang aku cantik apa kesepian?”
“Dua-duanya. Tapi poin utamanya tetap cantik. Kesepian mah bonus.”
Sheana nyaris tertawa, tapi menahan diri. “Kamu selalu gitu ya? Manis, tapi nyebelin.”
“Profesional hazard,” Ellan mengangkat bahu. “Tapi kalau kamu mau, I can turn off the charm for today.”
“Hah, emang bisa?”
“Untuk kamu? Bisa. Tapi sayang dong. Sayang banget.” Ia menyender ke kursinya, menatap Sheana dengan sorot mata genit setengah serius. “Makanya, aku nawarin jasa. Kamu perlu aku temani? Lagi promo besar-besaran, nih. Lagi sepi klien.”
“Serius?” Sheana menatapnya curiga. “Promo macam apa?”
“Diskon 30%.”
Sheana pura-pura berpikir. “Hmm… belum cukup menarik.”
“Okay, okay,” Ellan mencondongkan tubuh, main-main. “40% deh. Plus kendaraan buat ke mana-mana pakai punyaku.”
Sheana geleng-geleng kepala, pura-pura ogah. “Belum worth it.”
“Wah. Tante sadis ya,” keluh Ellan sambil mencengkram dada. “Oke, ini tawaran terakhir. Diskon 50%, pakai kendaraanku, dan biaya makan minum aku yang bayarin. Deal?”
Pffftt…!
Sheana akhirnya tak tahan. Tawa meledak dari bibirnya, hangat dan renyah, menghapus sisa tangis yang masih sembunyi di sudut matanya. “Ellan, kamu tuh ya… Emangnya berapa tarif normalmu sekali nemenin tante-tante?”
“Khusus Tante Sheana…” Ellan menaikkan satu alis dan berbisik dramatis, “Seratus ribu aja.”
Sheana terbatuk saking ngakaknya. “Seratus ribu?! Jadi karena diskon lima puluh persen, aku cuma bayar lima puluh ribu?!”
Ellan mengangguk serius. “Dan aku tetap nyetirin kamu, bayarin makan, sama kasih hiburan first class.”
Sheana terbahak. “Itu bukan diskon. Itu namanya kamu rugi, Ellan!”