Sheana hanya mengangkat bahu, duduk di kursi seberang. “Kamu bikin aku penasaran. Itu doang.”
“Fair enough,” kata Ellan, lalu mendorong salah satu gelas ke arahnya. “Yang ini bunga. Yang satunya daun. Aku nggak tahu kamu suka yang mana, jadi aku pesen dua-duanya.”
Sheana menatap latte itu, lalu tersenyum kecil. “Bunga. Aku selalu suka yang mekar, meski cuma sebentar.”
Ellan mengangguk. “Noted. Bunga untuk Shea.”
“Stop calling me Shea,” katanya refleks.
“Tapi kamu datang ke sini buat ketemu orang yang panggil kamu Shea,” balas Ellan dengan enteng.
Sheana tak bisa menahan senyum. Ia menyeruput latte-nya, lalu menatap keluar jendela. Hujan masih turun, tapi lebih tenang. Seperti pikirannya.
“Ellan.”
“Ya?”
“Kamu beneran… kerjaan kamu tuh nemenin orang?”
“Basically. Mostly klien perempuan. Tapi jangan mikir aneh-aneh. I don't sell love, or body. I sell presence. Teman bicara. Kadang jadi fake boyfriend buat foto-foto bareng. Kadang ngedengerin curhat sampai tengah malam. Kadang cuma nemenin diem-dieman kayak kemarin.”
Sheana menatapnya lama. “Kamu nggak capek… jadi pelarian buat orang lain?”
Ellan tertawa kecil. “Capek. Tapi kadang lebih gampang jadi tempat orang lain bersandar, daripada nyari sandaran buat diri sendiri.”
Ada jeda.
Lalu Sheana bertanya pelan, “Kamu pernah benar-benar sayang sama klien kamu?”
Ellan menoleh cepat. “Kamu takut aku bakal sayang sama kamu?”
Sheana mengernyit. “Aku nanya serius.”
“Dan aku jawab serius,” kata Ellan, suaranya menurun satu nada. “Pernah. Tapi… nggak berbalas.”
Ia menatap lurus ke depan, seolah bicara pada ruang kosong di depannya—padahal kata-katanya mendarat tepat di dada Sheana.
“Klien itu… balik ke kehidupannya yang lama. Ke seseorang yang terus nyakitin dia, tapi tetap dia pilih karena... alasan yang mungkin dia pikir nggak bisa dia tinggalin.”
Ia tersenyum tipis, tapi tak ada tawa di sana. Hanya getir.
“Aku cuma jadi selingan. Seseorang yang datang sebentar, bikin dia ketawa, bikin dia bisa napas. Tapi nggak cukup buat dia bertahan.”
Sheana menunduk. Suaranya tak berubah, tapi jantungnya berdetak sedikit lebih kencang. Karena ia tahu—dan Ellan tahu—mereka sedang bicara tentang orang yang sama.
Tentang dirinya.
Ellan menghela napas pelan. “Waktu itu, aku belajar. Aku nggak bisa maksa orang buat sembuh dari lukanya. Aku cuma bisa ada. Nemenin. Sampai dia siap, atau… sampai dia pergi.”