“Kalau aku Dirga, dan aku curiga istriku punya hubungan dengan anak kolegaku... aku akan bikin skenario kayak gini.”
Sheana menelan ludah. Tiba-tiba saja segala tawa dan kehangatan berubah jadi sesuatu yang menggantung di udara. Tegang. Tak pasti.
“Kalau itu benar...” bisiknya, “we’ve been watched.”
“Kalau itu benar,” sahut Ellan, “maka kita udah terlalu dalam.”
Sheana menatapnya. “Kamu nyesel?”
Ellan mengangkat bahu. “Kalau hari ini kencan... I’d ask for another round.”
Sheana menghela napas. “Kamu selalu jawab pakai kalimat yang nggak ada di soal.”
Ellan menyeringai. “Tapi bikin kamu senyum, kan?”
Sheana tak membalas. Ia hanya menarik napas panjang, lalu menatap hujan yang makin deras. Tangannya tanpa sadar bergerak, menyentuh lengan baju Ellan.
“Thanks... for today.”
“You’re welcome,” bisik Ellan. “Anytime. Even if you don’t ask.”
***
Sheana memutar sendok kecil di dalam gelas es kopinya. Café kecil bergaya industrial di pojok kota itu sedang ramai, tapi dia memilih duduk di sudut yang agak tersembunyi.
Rambutnya disisir rapi ke samping, kemeja putih gading, dan bibir tipis berwarna nude.
Grace datang beberapa menit setelahnya, mengenakan blazer putih, high heels hitam, dan aroma parfum yang sama sejak lima tahun lalu.
“Sorry lama, makeup artist gue sibuk banget ngerapiin alis klien. Gue jadi korban terakhir,” ujarnya sambil duduk.
Sheana tertawa kecil. “Masih sempat selfie lima kali di parkiran, kan?”
Grace menyeringai. “Always.”
Setelah basa-basi sebentar, Grace menyipitkan mata, menatap Sheana yang tengah menyeruput minumannya.
“Lo glowing,” kata Grace sambil menarik kursi. “Like, weirdly glowing.”
Sheana tertawa kecil. “Sheet mask semalam bagus, mungkin.”
Grace menyipitkan mata. “I’m serious, Na. You look like someone who’s been thinking about something... or someone.”
Sheana mengangkat alis. “Lo overthinking.”
“Oh come on. I know that face. Itu glowing yang bukan karena serum atau sheet mask mahal. Glowing karena lo lagi... kebanyakan mikir sesuatu yang manis.””
Sheana pura-pura menyibukkan diri dengan menu. “Lo mau pesan apa?”
Grace tidak menjawab. Ia hanya menatap sahabatnya lama, sampai akhirnya ia bersandar santai. “Gue pengen tahu siapa yang bikin lo kelihatan kayak... lo baru nyolong matahari.”
Sebelum Sheana sempat menjawab, pintu café terbuka.
Dan masuklah dia.
Ellan.
Kaos putih tipis, jaket hitam polos, celana jeans gelap. Rambutnya sedikit acak, dan ada bekas senyum di sudut matanya saat melihat Sheana.
“Shea,” senyumnya tipis, “I missed this face... more than I probably should.”