Ellan tak berusaha mengelak. “Sheana bukan siapa-siapa buat Daddy. Kenapa Dad ikut campur?”
“Karena kamu anakku. Dan dia... istri dari partner terdekatku.”
“Dia juga manusia.”
“Dan kamu juga,” potong Alvino. “Itu sebabnya kamu harus berhenti sebelum jadi alasan seseorang kehilangan segalanya.”
Sunyi kembali turun.
Alvino menyandarkan tubuh. “Kamu pikir hubungan kayak gitu bisa bertahan? Bahkan kalau kamu cinta dia... kamu pikir dunia bakal izinkan kamu memiliki dia?”
Ellan menghela napas. “Aku nggak minta restu siapa-siapa.”
“Tapi kamu bakal kena dampaknya. You’re not built for scandal, Ell. Kamu anak tunggal. Kamu pewaris. Aku udah bilang, Ellan. You’re playing with fire.”
“If her smile means standing in the fire... aku rela terbakar,” jawab Ellan datar.
Alvino melepas kacamatanya. Matanya tajam menembus. “Kamu terlalu sering diam kalau dia lewat. Terlalu tenang untuk seseorang yang nggak menyimpan apa-apa.”
“Jadi maunya Daddy apa?”
“Aku mau kamu berhenti.” Nadanya nyaris tanpa emosi. “Bukan karena aku nggak percaya kamu. Tapi karena aku tahu apa yang kamu rasa. Dan kamu nggak siap untuk konsekuensinya.”
“Dan Dad pikir aku akan nyakitin dia?”
“Bukan itu,” sahut Alvino. “Tapi kamu akan membuat semuanya runtuh. Dan kamu juga akan ikut hancur.”
Ellan menatap lurus ke depan. “Mungkin memang harus ada yang hancur dulu sebelum sesuatu bisa dibangun.”
Alvino mengepal tangannya. “Kamu anak muda. Gampang terbakar. Tapi hidup nggak bisa jalan pakai logika film atau puisi. Di dunia nyata, cinta yang salah tempat akan jadi kutukan, bukan penyelamat.”
Diam. Lama.
“Dirga bukan pria baik,” lanjut Alvino, “tapi dia tetap suami Sheana. Dan kamu bukan siapa-siapa dalam cerita mereka.”
“Aku nggak pernah minta jadi siapa-siapa,” jawab Ellan pelan. “Aku cuma... nggak bisa pura-pura nggak peduli.”
Alvino menatapnya dalam. “Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Ellan?”
“Apa?”
“Saat orang yang kamu cintai hancur... dan kamu sadar kamu bagian dari penyebabnya.”
Lalu, seperti mencair dari ketegangan sebelumnya, Alvino menyandarkan punggung dan berkata lebih pelan.
“Kamu pikir ini soal cinta, Ellan? Ini soal harga diri. Soal kehormatan. Sheana itu bukan cuma istri orang. Dia simbol. Nama keluarga, status. Kalau kamu tetap ngejar dia, kamu bukan cuma jatuhin Dirga. Kamu jatuhin aku juga.”
“Sheana bukan benda, Dad. Dia manusia.”
“Kamu jatuh cinta?”
Ellan diam.
“Kalau iya, you better walk away sekarang juga. Kalau kamu terusin... aku sendiri yang bakal bikin kamu pergi. Bukan sebagai ayah. Tapi sebagai pria yang percaya mana yang pantas atau tidak pantas dilakukan.”
Ellan menoleh perlahan, menatap ayahnya. “Dad nggak tahu gimana rasanya ngerasa kecil di hadapan hidup yang nggak pernah kita pilih.”