Sheana mencoba kabur ke arah pohon, tapi Ellan berhasil menangkapnya dari belakang dan mengunci tubuh mungilnya hanya dengan satu tangan.
Sheana menjerit tertahan dan memalingkan wajah saat jari-jari Ellan yang penuh oli sengaja dibuat menari di hadapannya.
"Ellan! Don’t you dare!"
Tapi Ellan tiba-tiba tak bergerak.
Dia hanya menatap Sheana. Lama. Matanya melembut.
"Kamu cantik banget, Shea," bisiknya pelan. Serius. Lurus. Tanpa kelakar. Itu adalah sebuah kalimat yang bahkan belum pernah ia ucapkan pada wanita mana pun.
Sheana membeku. Nafasnya naik turun. Kalimat itu bukan dari Ellan yang biasanya genit atau bercanda. Itu kalimat dari seseorang yang benar-benar sedang terpesona.
Tanpa sadar, Sheana menarik kerah jaket Ellan—dan bibir mereka bertemu. Sekali. Lalu dua kali. Lalu lebih lama dari yang mereka bayangkan.
Ciuman itu bukan lagi pelampiasan. Bukan pelarian. Tapi penegasan.
Ellan membalas, mengusap pipi Sheana yang masih ada noda olinya. Ia menggigit pelan bibir bawah Sheana, membuat perempuan itu mendesah tertahan.
"Gila kamu," bisik Sheana di antara napasnya.
"You started it," jawab Ellan dengan senyum miring. Lalu kembali melanjutkan ciumannya.
Saat mereka berpisah, Sheana menyentuh bibirnya. "Kayaknya... bengkak."
"Nggak papa. Itu tanda kamu hidup lagi."
Sheana menatap wajah Ellan yang masih berlumur noda oli. Dan ia merasa, kekacauan ini terasa seperti rumah.
Mereka tertawa. Pelan. Tapi mata mereka bicara lebih banyak dari yang bisa mereka ucapkan.
Motor kembali hidup. Tapi sesuatu dalam diri mereka tak lagi sama.
Dan saat angin menerpa wajah Sheana lagi, setelah sekian lama, ia merasa... bebas.
***
Setelah momen oli motor itu, Sheana belum mau pulang meski hari semakin beranjak larut. Ellan ngajak Sheana nongkrong di tempat yang cukup tenang, rooftop bekas gedung kantor yang menjadi favoritnya.
Ellan mematikan mesin motor saat mereka sampai, lalu menoleh ke Sheana. “Kita naik ke atas, ya?”
Sheana mengangguk, tak banyak tanya.
Tangga darurat berderit pelan saat mereka naik. Tidak ada penerangan kecuali cahaya redup dari lampu kota yang terlihat dari celah bangunan.
Sampai akhirnya, mereka tiba di rooftop. Luas, sunyi, dan terasa jauh dari dunia di bawah.
Ellan duduk bersila di lantai beton, menyandarkan tubuh ke tembok. Sheana ikut duduk di sampingnya. Motor mereka diparkir di bawah—tak terlihat dari atas sini.
Dari kantong plastik yang ia bawa, Ellan mengeluarkan dua kaleng minuman hangat. “Milih teh manis atau kopi instan?”