Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #20

Kesalahan Terbesar

Malam itu, jam dinding di ruang makan sudah hampir menunjukkan pukul sebelas.

Sheana membuka pintu pelan. Lampu ruang tamu sudah diredupkan, tapi ada cahaya dari dapur yang masih menyala. Ia melepas heels-nya perlahan, mencoba tak menimbulkan suara. Namun langkahnya terhenti begitu melihat sosok Dirga berdiri di dekat meja makan, masih mengenakan kemeja lengan panjang, lengan tergulung ke siku.

Secangkir kopi dingin berada di depannya. Tatapannya tajam tapi tenang-jenis tatapan yang tidak pernah diteriakkan, tapi menghantam lebih keras dari amarah.

"Kamu pulang juga akhirnya," ucap Dirga pelan, tanpa menoleh.

Sheana berdiri diam. "Maaf... aku-"

"Kamu tahu jam berapa sekarang?" potongnya.

"Jam sebelas," jawab Sheana pelan.

Dirga menoleh, dan saat matanya benar-benar menatap Sheana... ia mengerutkan dahi. Bibirnya bergerak tipis, seolah menahan sesuatu yang mengganjal di tenggorokan.

Lalu, kalimat itu keluar. Datar. Pelan. Tapi tajam.

"Bibirmu memar."

Sheana membeku. Detak jantungnya seperti menampar dinding dalam dadanya. Ia menelan ludah, lalu memalingkan wajah sedikit.

"Aku... jatuh dari motor," jawabnya, nyaris seperti bisikan.

Dirga menyandarkan tubuh ke meja. "Motor?" Ia menyeringai tipis. "Lucu. Setahuku, kamu nggak pernah naik motor. Bahkan waktu kita ke Bali pun kamu tolak naik ojek karena takut."

Sheana tak menjawab. Matanya menatap ubin. Tangannya mengepal di balik tas kecil yang masih ia genggam.

Dirga berjalan perlahan ke arahnya. Jarak di antara mereka terasa menyesakkan.

"Aku nggak tanya kamu pergi sama siapa," katanya pelan. "Tapi malam ini... kamu pulang dengan luka yang nggak bisa kamu sembunyikan."

Ia berdiri tepat di hadapan Sheana sekarang. Tak menyentuh. Tak membentak. Tapi tatapannya seperti pisau yang menyayat pelan.

"Kamu tahu apa yang paling menyakitkan, Na?" suaranya nyaris berbisik.

"Bukan karena kamu pergi. Tapi karena kamu pulang dengan wajah yang bukan lagi milikku."

Sheana menahan napas. Air matanya menggenang, tapi tak tumpah. Ia tahu, sekali pun tumpah, Dirga tak akan menyekanya.

"Kalau kamu mau pergi, pergilah," ucap Dirga, mundur selangkah. "Tapi jangan pura-pura jadi istri kalau nyatanya... kamu udah jatuh ke pelukan orang lain."

Ia lalu mengambil jasnya yang tergantung di kursi dan berjalan melewati Sheana. Tak ada bentakan. Tak ada suara pintu dibanting. Tapi malam itu, pintu di antara mereka terasa tertutup lebih kuat dari sebelumnya.

Lihat selengkapnya