Pagi itu, matahari bahkan belum naik sepenuhnya saat Sheana membuka pintu kamarnya.
Ruang rumah masih sunyi. Tak ada aroma kopi. Tak ada suara langkah kaki berat di koridor. Hanya denting jam dinding dan sinar redup dari jendela dapur yang perlahan menyusup masuk.
Ia berjalan pelan ke dapur. Ada secarik kertas di meja makan.
Meeting out of town. Two days. Don’t wait.
Tanda tangan singkat di bawahnya: D.
Sheana memandangi kertas itu cukup lama. Bukan karena isinya mengejutkan—tapi karena itu semakin menegaskan sesuatu...
Dirga tidak ingin bertemu dengannya pagi ini.
Ia mengambil gelas, menuang air putih, dan meneguknya dalam diam.
Tatapannya kosong. Tapi pundaknya tetap tegak.
Ia tidak menangis.
Sudah cukup semalam.
Ia bahkan berdandan sedikit. Hanya agar bayangan di cermin terlihat “pantas”.
Tidak bahagia. Tidak sedih. Hanya... layak.
Karena itu satu-satunya cara untuk bertahan.
***
Pagi itu, setelah kepergian Dirga yang terlalu pagi dan terlalu sunyi, Sheana duduk di meja makan sendirian. Kopi di cangkirnya sudah dingin. Ponselnya diam di atas meja, hingga akhirnya jemarinya mengetik pesan pendek.
"Kamu lagi di mana? Jemput aku, please."
Balasan datang tak sampai dua menit kemudian.
"Where to?"
"Somewhere with clouds."
Ellan tidak tanya lebih jauh. Tak butuh GPS, tak butuh rencana. Hanya butuh tahu bahwa Sheana ingin pergi.
Satu jam kemudian, mobil sedan hitam berhenti di pinggir jalan depan rumah Sheana. Dari balik jendela, Sheana melangkah keluar dengan kacamata hitam dan sweater tipis. Rambutnya dikuncir rendah, dan matanya...
Mata itu bengkak.
Ellan turun dari mobil, menatapnya dengan cemas. "Shea... what happened? Your eyes..."
Sheana tersenyum kecil. "Don’t ask, Ellan. Not yet. Just drive."