Hari-hari berikutnya menjadi panggung baru bagi Sheana. Setiap pagi, Dirga memberinya undangan—acara makan malam, pertemuan bisnis, peluncuran produk baru. Semua lingkaran sosial para elite, dan Sheana selalu diminta hadir.
"Pilih gaun ini," kata Dirga suatu sore sambil menyodorkan box berisi gaun satin berwarna emerald. "Dandan secantik mungkin. Kau tahu caranya."
Dan Sheana melakukannya. Bukan untuk Dirga. Bukan untuk siapapun. Tapi untuk dirinya sendiri.
Ia muncul di tiap acara seperti dewi yang turun dari takhta. Elegan, hangat, namun tak tersentuh. Senyumnya ramah, bahunya tegap, dan langkahnya ringan. Tapi matanya... kosong. Dingin.
“Jangan jatuh begitu mudah apapun keadaannya. Sheana yang aku kenal nggak pernah menyerah semudah itu. Jangan lari, jangan menghilang. Keluar dan tegakkan kepalamu. Tunjukkan bahwa tak pernah terjadi apa-apa dalam hidupmu, seperti yang selama ini kau tunjukkan padaku.”
Itu kalimat Dirga yang selalu Sheana ingat setelah kejadian malam itu.
Ellan melihatnya di beberapa acara. Tapi Sheana tak pernah menoleh. Tak pernah menyapa. Bahkan saat tatapan mereka bertemu tak sengaja di antara keramaian, Sheana hanya menunduk sedikit, lalu berlalu seperti tak mengenalnya.
Dirga? Ia ada di sampingnya. Menyentuh pinggang Sheana saat berfoto. Membisikkan komentar kecil di telinga istrinya. Membuat semua orang percaya bahwa mereka pasangan kuat yang tak tergoyahkan. Padahal mereka bahkan tidur di kamar terpisah.
Di sebuah acara gala besar, Ellan melihat Sheana dari jauh. Ia mengenakan gaun hitam berpotongan rendah di punggung, rambut disanggul tinggi, anting-anting menjuntai indah seperti sayap malam.
Ellan berani melangkah mendekat. “Shea,” bisiknya begitu cukup dekat.
Sheana menoleh. Tatapan mereka bersinggungan. Untuk sejenak, waktu terasa berhenti. Tapi Sheana hanya tersenyum kecil. Sopan. Dingin. Lalu melangkah pergi, meninggalkan aroma parfumnya yang samar dan luka baru di dada Ellan.
Sore hari berikutnya, di lobby kantor salah satu mitra Dirga, Ellan kembali melihat Sheana. Kali ini lebih dekat. Ia tergesa berjalan, dan Ellan menahan langkahnya. “Shea... please.”
Sheana berhenti. Tapi tak menoleh.
“Aku cuma mau jelasin.”
Sheana menutup mata sejenak, lalu melanjutkan langkah tanpa sepatah kata. Tumitnya beradu dengan lantai marmer, dingin. Membelah udara.
Ellan hanya bisa berdiri di tempat, rahangnya mengeras. Ia seperti sedang bicara dengan dinding.
Beberapa hari kemudian, hujan turun deras di parkiran gedung tempat sebuah konferensi bisnis digelar.
Ellan berdiri di bawah pelindung atap, mengenakan kemeja gelap yang basah sebagian. Matanya menatap ke luar, dan di sana—Sheana berjalan cepat di bawah payung bening. Ia tampak terburu-buru menuju mobil.
Ellan ingin berteriak. Mengejarnya. Tapi tubuhnya mematung. Ia tahu... itu percuma.