Alvino berdiri di samping seorang wanita muda berambut panjang, mengenakan jumpsuit biru navy dan heels berkilau.
“Sheana, aku ingin mengenalkan seseorang. Ini Mahi,” kata Alvino dengan senyum formal. “Anak dari kolega bisnis lamaku. Dia baru kembali dari London beberapa hari lalu.”
Mahi tersenyum ramah, tapi matanya menyapu wajah Sheana cepat. “Oh... ternyata ini Sheana. You’re Dirga’s wife, right? Daddy bilang, kamu udah cukup lama ya di circle beliau... Nggak heran sih, kamu kelihatan nyaman banget di antara semua ini.”
Sheana membalas senyum itu, halus tapi sopan. “Yes. Nice to finally meet you.”
“Nice to meet you too,” jawab Mahi, lalu melirik sejenak ke arah lain. “Oh! Speaking of... Ellan’s somewhere around here. Dia pasti akan senang lihat ada wajah yang familiar.”
Sheana masih menyimpan senyumnya, meski dadanya mendadak terasa sempit.
Tepat saat itu, suara langkah pelan terdengar di belakang mereka.
Ellan muncul, mengenakan kemeja linen warna sage yang dilipat rapi di ujung lengan. Ia berjalan mendekat... lalu membeku.
Sheana tersenyum.
Tapi senyum yang muncul di wajah Sheana bukan untuknya. Itu senyum formal. Senyum sopan. Senyum yang tak menyentuh matanya.
“Ellan,” sapa Alvino. “You remember Sheana, of course?”
Ellan menatap Sheana. Matanya tak mampu berbohong, tapi mulutnya hanya bergerak kecil.
“Of course. Good evening, Mrs. Dirga.”
Mrs. Dirga.
Sheana mengangguk sedikit. “Good evening.”
Alvino mengangkat gelasnya sedikit. “Sheana ini contoh wanita bijak. Kalem, tahu menempatkan diri. Tidak neko-neko. Apalagi... dengan banyaknya perempuan zaman sekarang yang terlalu cepat larut dalam urusan yang bukan bagiannya.”
Seketika, udara jadi sedikit lebih dingin.
Senyum Sheana nyaris tak berubah. Tapi matanya menatap Alvino sedikit lebih lama dari seharusnya.
“Jarang sekarang ada istri yang tahu batas,” lanjut Alvino. “Yang bisa menahan diri. Bahkan ketika ada... pihak-pihak di sekitarnya yang mungkin memberi ruang pada godaan.”
Tatapannya hanya sebentar ke arah Ellan, tapi cukup untuk membuat bahu Ellan menegang.
“Untungnya, Sheana bukan tipe wanita seperti itu. Dia tahu caranya menjaga kehormatan keluarga.”
Mahi tertawa kecil, seperti tak sepenuhnya sadar arah pembicaraan. “Well, I agree. Mbak Sheana kelihatan classy banget.”
Sheana akhirnya bicara, lembut tapi tak kalah menusuk, “Saya percaya, kehormatan seseorang nggak selalu ditentukan dari seberapa sering dia diam. Kadang, diam itu justru bentuk perlawanan paling keras... hanya saja tak semua orang paham bahasanya.”