Pretty Boy for Sheana

Desy Cichika
Chapter #29

Let Me Be Your Rest

Dian tersenyum canggung. “Kamu bilang begitu karena kamu masih muda, Ellan. Belum ngerti dunia wanita.

Ellan memiringkan kepala sedikit, matanya tetap lembut. “Atau justru karena aku masih muda... aku belum terlalu sibuk menilai hidup orang lain.”

Ellan menatap lurus ke arah Dian Maheswari.

“Dan aku pikir,” lanjutnya, suaranya tetap tenang. “Keibuan nggak bisa diukur dari panjang rok seseorang. Tapi dari seberapa besar hatinya untuk mencintai—termasuk mencintai anak orang lain, misalnya.”

Alvino menaikkan alis. Dian diam.

“Apalagi,” Ellan menambahkan, pandangannya mengarah ke Sheana sesaat, “...kalau perempuan itu tetap berdiri tegak walaupun berkali-kali dijatuhkan. That, to me, is the strongest kind of woman.”

Jemari Ellan bertaut, disandarkan di bawah dagunya. Dari balik tatapan matanya yang tenang, ada bara yang siap menyala. Seolah sedang menimbang—berapa banyak kata yang perlu ia keluarkan untuk membuat wanita itu diam.

Alvino waspada. “Ellan... “

“Nyonya Dian... kalau menurut pendapat pribadiku, alasan Tuhan belum menitipkan anak pada seseorang bukan karena ia belum siap menjadi orangtua, tapi bisa jadi karena Tuhan tidak mau anak itu tumbuh di tengah keluarga yang penuh penghakiman dan kekerasan pasif. Yang mungkin tidak bisa menghargai orang lain, terutama ibunya.”

“Ellan...!” Alvino menegur keras.

Kalimat Ellan menyambar dengan tajam namun elegan, membuat semua orang yang berada di sana seperti terkena tamparan halus.

Mahi kaku di sampingnya. Dian tak mampu lagi membantah. Dirga menatap Ellan. Lama. Tapi tetap tanpa kata.

Dan Sheana?

Ia menahan napas. Tapi dalam diamnya... ada air mata yang hampir jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena akhirnya, ada seseorang yang berani bicara, saat ia sendiri sudah lelah menjelaskan.

***

Acara malam itu seharusnya biasa saja. Sekadar kumpul mingguan para pengusaha dan kolega dalam lingkup Wiradipta Group dan yayasan milik Bimantara. Tapi satu kalimat sederhana –tentang Sheana– dari Dirga mengubah segalanya.

“Sheana nggak ikut?” tanya Mahi, menyuap salad kecil di piringnya. “Biasanya dia selalu hadir.”

Dirga menoleh sebentar, nada suaranya tetap tenang. “Sheana sakit sejak pulang dari gathering kemarin.”

Dan dari sudut ruangan, Ellan yang sedang berbasa-basi dengan beberapa rekan ayahnya mendadak kehilangan fokus. Kepalanya menoleh cepat. Matanya menatap Dirga.

Sheana... sakit?

Mahi mengangguk. "Oh. Capek kali ya..."

Tapi Ellan tidak mendengar kelanjutannya. Otaknya mendadak kosong, hanya berisi nama itu. Sheana. Sakit? Sejak gathering?

Sorot matanya berubah. Ketegangan itu tak bisa ia sembunyikan meski mencoba tersenyum.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, Ellan berdiri. "Aku keluar sebentar, cari angin."

Mahi mendongak. "Ke mana?"

Lihat selengkapnya