Sheana tertawa kecil, matanya masih merah. Grace membuka pintu mobil.
"Sini. Gue antar lo pulang ke 'apartemen' gue."
Sheana masuk ke dalam mobil. Sambil menatap ke arah villa kecil yang perlahan-lahan menjauh di kaca spion.
Menjauh. Tapi tetap membekas di hati.
Sementara di dalam villa, Ellan tetap duduk di ranjang. Menatap pintu yang baru saja tertutup.
Menatap dunia yang perlahan-lahan kembali sepi... tanpa Sheana.
Tapi kali ini, hatinya lebih kuat. Karena dia tahu. Tak peduli seberapa besar dunia melawan mereka... Ellan sudah berjanji pada dirinya sendiri.
Dia akan memperjuangkan Sheana. Sampai akhir.
***
Mobil sport hitam itu melaju santai di jalanan kota yang mulai ramai menjelang sore. Di kursi kemudi, Ellan tampak santai, satu tangan di setir, satu lagi memainkan ponselnya sebentar untuk mengganti playlist.
Mahi yang duduk di sebelahnya melirik dengan heran. “You’re suspiciously... happy today,” komentar Mahi, setengah bercanda, setengah curiga.
Ellan menoleh sebentar dengan senyum kecil. Senyum yang sangat langka saat ia bersama Mahi. “I’m always happy when I’m with you, Princess,” jawabnya ringan sambil berkedip nakal.
Mahi tertawa kecil. “Bullshit. Kamu biasanya kayak zombie kalau bareng aku. Hari ini... you’re practically glowing, Ell.”
Ellan hanya terkekeh. Kalau saja Mahi tahu alasannya. Kalau saja dia tahu, kenapa sejak semalam, dunia Ellan terasa berubah. Sheana.
Bayangan Sheana — kulit hangatnya, suara desahannya, napasnya yang tercekat di pelukan — masih menari liar di kepala Ellan. Sejak tadi pagi, sejak melepas Sheana ke mobil Grace, hatinya terasa hampa. Rindu langsung tumbuh dalam hitungan menit.
“Hei, kamu ngelamun ya?” Mahi menepuk bahunya. “Kebanyakan nonton drakor kayaknya kamu, Ell,” ejek Mahi.
Ellan tertawa kecil lagi. Tapi tak menjawab. Pikirannya terlalu sibuk menunggu... mungkin sekadar satu pesan dari Sheana.
Mahi mendesah dramatis. “Anyway, kita berhenti di coffee shop sebentar, ya? Aku mau beli kopi buat Daddy.”
“Roger that, Princess.”
Mereka berhenti di coffee shop kecil yang cozy, dekat taman kota. Ellan turun lebih dulu, membuka pintu untuk Mahi.
Di saat bersamaan —Suara tawa ringan terdengar dari arah teras coffee shop.
Ellan spontan menoleh.
Dan dunia seolah berhenti berdetak.
Di pojok teras, duduk dua wanita. Salah satunya — Sheana.
Wajah cantiknya bercahaya dalam balutan blouse putih sederhana, rambut cokelat panjangnya dibiarkan tergerai bebas, bergoyang pelan ditiup angin sore.
Di sebelah Sheana, Grace yang heboh seperti biasa, tertawa sambil menepuk-nepuk meja.
Ellan tak sadar ia tersenyum — senyum lebar, tulus, bodoh — seperti anak remaja yang baru ketemu gebetan.
Mahi melihat perubahan ekspresi itu. Ia mengikuti arah pandang Ellan, lalu tersenyum juga saat mengenali sosok Sheana.
"Hey, itu Mbak Sheana!" seru Mahi riang. "Kita sapa, yuk?"