“Say, ‘Selamat malam, Ellan’.”
Sheana menoleh, curiga. “Hah? Ngapain?”
“Buat aku denger tiap malam kalau kamu lagi nggak ada,” jawab Ellan ringan, tapi matanya jujur banget.
Sheana tertawa kecil. “Ck. Kamu tuh... berlebihan banget.”
“Belum selesai,” potong Ellan, mendekat. “Abis itu bilang... ‘Aku cinta kamu, Ellan. Banget. Amat sangat. Nggak bisa hidup tanpa kamu. Kamu kayak nasi buat aku. Tanpa kamu aku kelaparan batin.’”
Sheana langsung ngakak, hampir tersedak. “ASTAGA—nggak, Ellan! Itu norak banget!”
“Pleasee,” rengek Ellan, mendekat kayak anak kecil minta dibuatin susu. “Sekali aja. Cuma satu kali, aku simpen buat seumur hidup. Anggap aja... ini testimoni cinta terlarang.”
“Kamu gila.”
“Udah tau. Tapi kamu masih di sini, artinya kamu lebih gila lagi.”
Sheana menghela napas panjang, lalu menyender pasrah ke kursi.
Ellan masih menatap dengan ekspresi memelas.
Akhirnya, Sheana mengambil ponsel itu dari tangannya. “Kamu rekam beneran, ya?”
“Serius. Dan nggak boleh ketawa. Harus lembut. Penuh perasaan. Gaya istri idaman.”
Sheana menghela napas lagi. Masih berusaha menahan tawa. Lalu menekan tombol rekam.
Suara Sheana, terdengar pelan dan agak sarkas.
“Selamat malam, Ellan. Aku cinta kamu. Banget. Amat sangat. Nggak mau pisah. Kebayang terus pokoknya. Dan kalau kamu nggak ada, aku bisa guling-guling di jalanan. Kamu itu... kayak nasi buat aku. Tanpa kamu aku kelaparan batin. Puas?”
Ellan tertawa terpingkal-pingkal. “OH. MY. GOD. Itu masterpiece!”
“Cepat hapus!” seru Sheana panik, mencoba meraih ponselnya.
“NGGAK!” Ellan menjauhkan ponselnya, menyimpannya ke dalam saku. “Ini bakal jadi ringtone tidurku.”
Sheana menutupi muka dengan kedua tangan. “Aku nyesel banget keluar malam ini.”
“Tapi kamu senyum. Dan kamu bahagia.”
Sheana melirik dari balik jemarinya. "Yes. Stupidly... yes."
***
Pagi itu, di dapur rumah mereka.
Sheana sedang menuang kopi ke dalam cangkir saat suara langkah Dirga terdengar dari arah tangga. Pria itu datang dengan rambut masih sedikit basah, kemeja rapi, wajah lelah... tapi tetap dingin seperti biasa.
“Pagi,” sapa Sheana pelan.
“Pagi,” jawab Dirga datar. Ia duduk di kursi, meraih koran dari meja tanpa menatap Sheana.