“Ssst,” Ellan meletakkan telunjuk depan mulutnya. Suara itu rendah, nyaris seperti bisikan.
Dan dalam sekejap, Sheana sudah tertarik ke lorong samping yang remang dan sepi. Detak jantungnya melonjak. Nafasnya tercekat.
"Apa yang kamu lakukan?" bisiknya nyaris tak bersuara.
Ellan tidak menjawab.
Matanya menatap Sheana seperti lelaki yang kehausan. Seperti orang yang hanya bisa bernapas kalau wanita di depannya ini ada dalam pelukannya lagi.
“Ellan!” bisik Sheana panik. “Kamu gila?! Kita masih di kantor—”
“Just thirty seconds,” potong Ellan, matanya gelap dan penuh rindu. “I need this. I need you.”
“Sheesh, kamu nekat banget…” bisik Sheana, tapi suaranya melemah saat Ellan mencengkeram pinggangnya dan menariknya lebih dekat.
“Kamu tau nggak aku nahan kayak apa selama meeting tadi?” gumam Ellan, suara beratnya nyaris seperti desahan. “Kamu duduk di seberangku, ngeliatin layar—sementara aku cuma mikirin gimana rasanya nyium kamu lagi.”
Sheana menatap sekeliling, ketakutan. “Ellan, please, jangan di sini…”
Tapi Ellan sudah terlalu dekat. Nafasnya menyentuh pipi Sheana. “You can say no. Tapi kamu nggak mau nolak juga kan?”
Sheana menutup mata. Bibirnya bergetar. Tapi tubuhnya tidak bergerak. Tidak menolak.
Dan Ellan mencium.
Cepat. Dalam. Terburu, tapi penuh penyesalan dan gairah yang tertahan. Satu tangan memegang rahang Sheana, satu lagi membelit pinggangnya, menariknya erat seolah takut waktu akan merenggut momen itu dalam sekejap.
Sheana merintih pelan di antara ciuman. “Ellan… udah…”
Tapi Ellan masih belum puas. Ia mencium bibir bawahnya sekali lagi, lalu pelipisnya, lalu menyandarkan dahi ke dahi Sheana. “Biar aku kuat hari ini… cuma ini yang aku perlu.”
Suara langkah terdengar samar dari lorong utama.
Sheana langsung mendorong Ellan perlahan, napasnya memburu. “Ada yang datang.”
Mereka berdua bergegas membetulkan pakaian. Sheana mengelap bibirnya dengan tisu tergesa. Tapi tidak cukup cepat.
Beberapa detik kemudian, Alvino melintas di ujung lorong.
Ia berhenti sejenak, menatap mereka—Sheana sedang berdiri membelakangi dinding, wajah sedikit kemerahan. Ellan di dekat dispenser, berpura-pura melihat ponsel.
Tidak ada yang mencurigakan... kecuali bibir Ellan yang masih sedikit basah, dan lipstik Sheana yang tampak bergeser samar.
Alvino tidak berkata apa-apa. Tapi matanya tajam. Terlalu tajam.
"Ellan," ucapnya tenang. "Ke ruanganku sebentar."
Ellan mengangguk cepat, lalu melirik Sheana sekali sebelum mengikuti langkah ayahnya.
Begitu mereka menghilang, Sheana bersandar ke dinding. Tangannya gemetar. Napasnya belum kembali normal.
Satu ciuman. Satu detik yang nyaris membakar semua batas yang tersisa.
Dan kini… mereka mungkin sudah terlalu dekat dengan api.
Di sisi lain, langkah kaki Ellan terdengar cepat di belakang Alvino, menyusul ke lorong menuju ruang pribadi sang ayah. Baru beberapa langkah sebelum pintu itu terbuka, Alvino berhenti.